TEMPO.CO, Jakarta -Dua dekade lalu, Denny Wirawan berhasil mewujudkan impiannya memenangi Lomba Perancang Mode di Jakarta. Kini, setelah meraih beragam prestasi selama 15 tahun kariernya dalam industri mode, ia menjadi salah satu perancang busana terbaik di negeri ini. Toh, dia tetap mengklasifikasikan rumah modenya sebagai industri rumahan. “Ini pilihan saya untuk membuat koleksi terbatas ketimbang produksi massal,” katanya kepada Agoeng Wijaya kepada Tempo, Jumat pekan lalu, di butik Denny Wirawan, Cipete, Jakarta Selatan.
Seberapa dalam mode menjadi bagian hidup Anda?
Saya terlahir dari seorang ibu yang bekerja di sebuah salon. Sejak kanak-kanak, saya terbiasa membaca majalah wanita yang dia baca, terutama halaman fashion. Hingga kemudian pada saat duduk di kelas VI sekolah dasar, saya terkagum-kagum melihat Samuel Wattimena memenangi Lomba Perancang Mode pada 1979. Bertahun-tahun saya terus mengikuti perkembangan lomba tersebut dan mulai bertekad mengikuti kompetisi itu. Sejak itu, saya mulai menggambar dengan menjiplak foto busana yang diperagakan seorang model. Ketika anak sebaya melukis pemandangan, saya memilih menggambar orang. Lalu saya menganggap diri saya terlahir untuk mode.
Kapan pertama kali Anda membuat busana?
Menjelang lulus SMA, saya mulai berani mewujudkan rancangan saya dari sketsa menjadi sebuah pakaian. Waktu itu saya pergi sendiri ke penjahit karena belum memiliki mesinnya. Lama-kelamaan, teman-teman ibu saya datang membawa kain. Saya merancang busananya, lalu membawa ke penjahit dan mereka melihat hasilnya.
Selama 15 tahun berkecimpung dalam industri mode, pernahkah ada masa ketika Anda merasa bosan?
Saya justru semakin merasa bahwa hidup di dunia mode merupakan keharusan dan tak tertarik mencoba hal lain.
Seperti apa busana yang indah di mata Anda?
Saya mengutamakan rasa. Setiap manusia memiliki definisi sendiri terhadap rasa. Apa yang baik atau indah bagi saya, belum tentu indah bagi orang lain. Begitu pula sebaliknya. Memang absurd. Saya hanya berharap rasa yang saya miliki normal bagi kebanyakan orang.
Bagaimana Anda menggali ide dan kreativitas ketika merancang busana?
Ide bisa muncul lewat beraneka macam cara, tak terduga, dan tak mengenal waktu. Saya bahkan sering pusing dan jengkel ketika badan saya lelah sekali sehingga ingin tidur, tapi kepala tak mau diajak tidur. Sering kali saya memutuskan untuk bangun dan mulai menuangkan apa yang ada dalam kepala saya. Belakangan ini, saya juga memperoleh banyak inspirasi dari hobi baru saya: traveling.
Mana yang lebih mempengaruhi ide rancangan busana Anda: selera konsumen atau kreativitas sebagai seniman?
Saya memadukan kedua hal tersebut. Dalam setiap peragaan busana, sebagian besar rancangan saya adalah untuk lini ready to wear, yang memang untuk dijual. Namun, pada saat yang sama, saya selalu menyelipkan beberapa helai busana hasil kreativitas saya. Biasanya muncul pada bagian akhir peragaan. Mungkin banyak yang bertanya mau dipakai di mana rancangan saya itu. Tapi saya tak peduli, karena itu lebih memuaskan. Saya tak ingin kreativitas tenggelam oleh pasar.
Bagaimana Anda menilai industri mode Indonesia saat ini?
Yang menggembirakan, sekarang sudah banyak bermunculan desainer-desainer muda berkualitas. Peragaan busana juga semakin banyak. Meski saya agak kurang sreg dengan gampangnya pusat belanja membuat acara mode bertajuk fashion week. Apakah acara tersebut ingin mengembangkan industri mode atau semata-mata promosi penyelenggara?
Kini label dan rumah mode terkemuka dunia menancapkan kukunya di Indonesia. Bagaimana Anda menilai hal ini?
Tentu saja itu tantangan bagi label dan rumah mode lokal. Dan lebih sering juga menjadi tekanan karena ruang gerak desainer lokal tak selebar dulu. Tapi saya optismistis, cepat atau lambat semakin banyak pelaku mode Indonesia mampu berkiprah di mancanegara. Saya pun pelan-pelan mencoba
***
Biodata:
Denny Wirawan
Kelahiran: Jakarta, 9 Desember 1967
Pendidikan
· Susan Budiharjo Fashion School (1992-1993)
Karier Mode
· Pemilik label Denny Wirawan dan Balijava (1996-sekarang)
· Perancang busana Rumah Mode Prajudi untuk label Bianglala (1992-1996)a ke arah sana. Meski saya tahu, jalannya tak akan mudah.