TEMPO.CO, Surabaya-Walikota Surabaya Tri Rismaharini setuju jika mucikari anak berinisial NA, 15 tahun, dan para anggotanya diberi sanksi. Bahkan jika sekolah menengah pertama swasta tempat mereka bersekolah memutuskan untuk mengeluarkan, Risma pun menghormatinya. "Mereka harus diberikan sanksi, karena sudah melanggar ketentuan sekolah," kata Risma di sela-sela pertemuan dengan NA dan tiga anak buahnya di Ruang Eksekutif Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, Senin, 17 Juni 2013.
Risma mengakui tindakan yang dilakukan NA dan anak buahnya layak diberikan hukuman. Sebab mereka telah berpraktek menjadi mucikari sekaligus pekerja seks komersial. Mereka melakukan perbuatan itu bukan karena desakan kebutuhan primer, melainkan hanya demi baju ataupun Blackberry.
Risma menyerahkan persoalan ini kepada kepolisian agar diproses sesuai undang-undang yang berlaku. Sedangkan bila ada sanksi dari pihak sekolah, Risma juga akan menyesuaikan. Sebab, ada sekolah yang ketat dalam menerapkan sanksi bagi siswanya yang melanggar norma.
Karena itu, Risma akan menghormati apabila sekolah memutuskan untuk mengeluarkan siswinya yang terlibat dalam trafficking anak di bawah umur itu. Jika memang mereka benar-benar dikeluarkan, maka pemerintah kota akan mencarikan sekolah lain bagi siswi tersebut. "Kita harus hormati. Kalau sekolahnya nggak mau, kita carikan sekolah lain," ujarnya.
Pemerintah Kota Surabaya, kata Risma, akan menyediakan tempat penampungan untuk membina NA serta anak buahnya selama proses sanksi ini berlangsung. Menurut Risma, dirinya sudah bertemu dengan keluarga NA dan anak buahnya di rumah masing-masing. Dari pertemuan itu Risma mengetahui bahwa anak-anak tersebut sebenarnya memiliki kemampuan akademik yang cukup baik. "Ada yang juara kelas, artinya anak-anak ini bisa dibina jika serius menangani," katanya.
Kepala Sub Unit Vice Control Kejahatan Umum Polrestabes Surabaya Inspektur Polisi Tingkat I Teguh Setiawan mengatakan polisi tetap pada keputusan semula untuk memproses NA dan teman-temannya secara hukum. Lagipula keadilan restoratif dan diversi berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak saat ini belum bisa diberlakukan.
Ini lantaran undang-undang tersebut disahkan 2012 lalu dan baru berlaku pada 2014. Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar meminta penyidik agar menerapkan undang-undang tersebut. "Lagi dikaji karena undang-undangnya baru bisa dilaksanakan 2013," kata Teguh.
Kesempatan wajib lapor NA dan 3 rekannya ke Polrestabes Surabaya, Senin sore tadi dimanfaatkan oleh Walikota Surabaya untuk bertemu. Walikota Risma didampingi Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Surabaya dan pendamping Surabaya Children Crisis Center serta pihak Polrestabes Surabaya.
AGITA SUKMA LISTYANTI