TEMPO.CO, Jakarta--Seringkali sejumlah pertanyaan akan muncul saat berbicara soal transportasi Jakarta dan fungsinya untuk mengatasi kemacetan lalu lintas ibu kota. Namun, pertanyaan yang terngiang di pikiran kita ternyata belum tentu tepat dipertanyakan.
Seperti enam pertanyaan yang diungkap Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, Danang Parikesit, berikut ini. Pertama, kata Danang, banyak orang bertanya soal rasio jalan yang memadai di Jakarta. Banyak yang mengungkapkan idealnya rasio jalan berada di kisaran 10-12 persen dari total wilayah itu. Tapi ternyata itu salah.
"Kalau berbicara soal urban mobility space, tidak hanya jalan, tapi juga orang yang melakukan jalan kaki dan lainnya. Ini bisa mencapai 30 persen," kata Danang dalam diskusinya bersama Tempo, Selasa, 4 Juni 2013.
Koran Tempo selama sepekan, mulai Senin 17 Juni 2013 akan membahas tentang persoalan Jakarta yang masih menjadi pekerjaan rumah Jokowi-Ahok. Selama ini, rasio jalan dihitung luas wilayah dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Padahal, untuk mengatur mobilitas setiap orang di Jakarta bukan ditentukan dari hanya jalan saja. Tapi ada hal lainnya.
Pertanyaan kedua yang sering ditanyakan namun tak tepat yaitu apakah proyek mass rapid transit (MRT) mesti dibangun di bawah tanah atau melayang? Kata Danang, sejumlah masyarakat, terutama warga Fatmawati, Jakarta Selatan, keberatan dengan MRT layang di sekitar wilayahnya. Namun kegelisahan warga belum juga dijawab oleh Pemerintah Jakarta. "Jadi banyak pertanyaan muncul, tapi mereka tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka," ujarnya.
Pertanyaan yang sering salah lainnya adalah berapa bus yang mesti dibeli Pemerintah DKI untuk mengatasi kemacetan Jakarta? Danang melihat semestinya pertanyaan lebih sekitar berapa kebutuhan bus di ibu kota. Jika ingin mengembalikan penggunaan angkutan umum yang baik di Jakarta, semestinya dibutuhkan kira-kira 15 sampai 20 ribu bus.
Namun, kebutuhan ini tidak harus dipenuhi Pemerintah Jakarta seluruhnya. Pemerintah, katanya, bisa bekerja sama dengan pihak swasta agar bus bisa tersedia. "Swasta harus banyak dilibatka asal dengan sistem konversi yang adil dan tepat," katanya.
Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Transjakarta. Menurutnya, sistem yang terjadi di Transjakarta bisa diterapkan untuk bus lainnya karena sebagian besar risikonya ditanggung oleh Pemerintah Jakarta, sementara investasi pengadaan bus tetap diserahkan ke pihak swasta.
Lalu, pertanyaan lainnya adalah apa moda transportasi yang tepat untuk Jakarta? Sebetulnya, kata Danang, dengan kondisi lalu lintas seperti saat ini, Jakarta tidak memiliki keistimewaan untuk memilih mana moda transportasi yang cocok. Karena, semua moda transportasi bisa digunakan untuk mengrangi tekanan mobil pribadi yang lalu lalang di jalan setiap harinya.
Lalu ada pula pertanyaan mengenai apakah membangun 24 flyover dan underpass dapat meningkatkan penumpang kereta api menjadi 1,2 juta orang per hari? Danang tidak sependapat dengan pertanyaan ini. Karena, yang mengganggu jalannya kereta api adalah lalu lintas setempat. Karena itu, ia sangat mendukung apabila jalur kereta api yang dinaikkan atau elevated ketimbang membuat 24 flyover atau underpass.
Pertanyaan lainnya seperti haruskah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) atau menaikkan tarif parkir untuk kendaraan pribadi? Hal ini, menurutnya, malah menguntungkan kendaraan pribadi jika tanpa diimbangi dengan penambahan moda transportasi umum yang baik.
Lalu, bagaimana dengan pertanyaan apakah seharusnya pembelian kendaraan pribadi dibatasi? Danang menjawab tidak. Karena jika pembelian kendaraan pribadi dilarang, berarti Jakarta akan mengalami represi yang cukup besar dalam perekonomian. "Saya rasa pembatasan kendaraan pribadi bukan pertanyaan tepat."
SUTJI DECILYA
Terhangat:
EDSUS HUT Jakarta | Kenaikan Harga BBM | Rusuh KJRI Jeddah
Baca juga:
Kongres Dukung Jokowi Presiden 2014 di Bandung
Jokowi Tolak Bayar Sewa Stan di PRJ Kemayoran
Ada 'Kartel' Kerak Telor di PRJ Kemayoran
Ahok Rela Taman Monas Rusak Karena PRJ