TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dokter Hasbullah Thabrany, mengatakan program Kartu Jakarta Sehat, yang mengadopsi model INA CBG (Indonesia Case Base Group), memangkas biaya-biaya yang tidak perlu dalam perawatan pasien. Sistem ini menghilangkan praktik pelayanan kesehatan yang dihitung secara eceran.
"Kalau sekarang sifatnya masih ketengan (eceran). Jadi dokter datang, ada charge. Suster periksa tensi darah, ada charge. Dokter visit, ada charge. Ini yang bikin dokter rajin visit. Sekali, visit argo naik," kata Hasbullah di Tempo, 10 Juni 2013.
Hasbullah mengatakan dengan sistem INA CBG, segala jenis pengobatan untuk penyakit sudah ditetapkan biayanya hingga sembuh. Untuk penyakit tipus misalnya, sudah ditetapkan biayanya Rp 4 juta hingga sembuh.
Meski pagunya sudah ditentukan, Hasbullah mengatakan INA CBG tidak menutup kemungkinan rumah sakit menerima laba. ”Semakin bagus dan efisien pelayanan rumah sakit terhadap pasien, semakin kecil biaya yang dikeluarkan, semakin banyak pula sisa pagu alias laba yang didapat,” ujarnya.
Menurut dia, sistem INA CBG bukanlah sistem coba-coba. Sistem ini sudah diterapkan di banyak negara. Di Thailand, misalnya, sistem pengobatan borongan ini sudah diterapkan sejak 20 tahun yang lalu. Di Australia, CBG diterapkan sejak awal 2000-an. "Di Indonesia saja baru sekarang. Makanya, kita itu boleh dibilang lebih kapitalis dibanding Amerika, pelayanan kesehatan masyarakat saja dibuat dagangan," ujarnya. (Baca: Banyak Calo Jasa KJS, RS MH Thamrin Mundur)
Di Amerika, kata dia, orang sakit yang hendak berobat tidak dilihat kemampuan ekonomi, ras, agama, dan bahkan kewarganegaraannya. “Semua orang sakit di sana memperoleh layanan kesehatan karena punya asuransi,” kata dokter yang pernah kuliah sampai doktor di Amerika ini.
Menurut dia, tidak pantas memperdagangkan layanan kesehatan. Sebab, kata dia, dalam pelayanan kesehatan berlaku sistem informasi yang asimetris. Dokter memegang kendali penuh informasi kesehatan pasien, sedangkan pasien tidak memahami ilmu medis. “Dalam sistem informasi yang asimetris tidak boleh diberlakukan di mekanisme pasar bebas. Artinya pelayanan kesehatan seharusnya tak diperdagangkan,” ujar Hasbullah.
ISTMAN MP