TEMPO.CO, London - Bulan depan akan menandai genap satu dekade rezim Roman Abramovich berdiri di Chelsea sejak ia membeli klub London itu dengan uang sebesar 140 juta poundstelring (Rp 2,163 triliun). Sejak itu, investasi besar taipan minyak Rusia tersebut mengubah Chelsea yang medioker menjadi juara Piala FA, Piala Liga, Liga Eropa, Liga Inggris, sampai Liga Champions.
Menurut Frank Arnesen kehadiran Roman telah mengubah, tidak hanya sepak bola Inggris, tapi juga kekuatan elit sepak bola dunia. Arnesen yang lima tahun menjadi Direktur Olahraga Chelsea percaya langkah Roman di Chelsea telah menjadi percontohan bagi klub-klub di dunia yang ingin menjadi besar.
"Saya pikir dia adalah pelopor, tidak hanya untuk sepak bola Inggris, tetapi di seluruh dunia," kata Arnesen kepada BBC Sport seperti dikutip Sky Sports, Selasa, 18 Juni 2013. "Dia adalah orang pertama dari luar negeri yang datang, membeli klub dan menginvestasikan uang."
Dengan gelontoran uang yang seolah tak pernah habis, Roman menyulap Chelsea yang sebelumnya hanya menjadi penonton persaingan Manchester United, Arsenal, dan Liverpool, jadi salah satu penantang gelar paling serius. Setelah mengeluarkan 100 juta poundsterling (Rp 1,545 triliun) lebih untuk membeli pemain-pemain baru, Chelsea menyabet gelar Liga Primer Inggris dua kali berturut-turut (2004/05-2005/06).
"Ini belum pernah terjadi di mana saja di dunia," tambah Arnesen. "Anda kemudian melihat Manchester City dan banyak klub dengan pemilik luar negeri, tetapi dia adalah yang pertama kali datang, sangat serius tentang hal itu, dan ingin melakukan segala sesuatu untuk klub--tidak hanya untuk tim pertama tetapi juga pemain muda dan stadion."
Masuknya Roman ke Chelsea segera saja memicu klub-klub kaya baru di Eropa. Manchester City, Paris Saint-Germaine, Queen Park Rangers, sampai Malaga dibeli oleh pengusaha kaya namun, bagi Arnesen, hanya Roman yang benar-benar punya niat membeli klub sepak bola demi sepak bola.
"Dia akan datang dengan beberapa orang ke stadion, menonton pertandingan dan menikmatinya," ujar Arnesen. "Dia menikmati sangat banyak pertandingan dan pergi ke kejuaraan FA Youth Cup--dia akan pergi ke perempat final, semifinal, dan final. Dia selalu ada dan akan selalu mengucapkan selamat kepada kami dan staf."
Pria terkaya nomor 50 di dunia versi majalah Forbes itu sungguh berbeda dengan pemilik klub sepak bola yang kini banyak menguasai klub-klub Eropa. Roman tak seperti Tony Fernandez (QPR), Syekh Abdullah Al Thani (Malaga), Nasser Al Khelaifi (PSG), Dimitry Roybolovlev (AS Monaco), atau Malcolm Glazer (Manchester United) yang memandang klub sebagai bisnis saja.
Jauh sebelum mengakuisisi Chelsea, Roman sempat memprakarsai berdirinya sebuah yayasan di Rusia untuk pengembangan pemain muda (National Academy of Football). Lewat organisasi itu, Roman menyponsori program sepak bola untuk pemuda di seluruh negeri sembari mendanai pembangunan lebih dari 50 lapangan sepak bola di pelbagai kota, menciptakan sebuah sistem pelatihan untuk pelatih, bahan pengajaran, renovasi faslitas olahraga, sampai studi banding sepak bola profesional ke Inggris, Belanda, dan Spanyol.
"Dia sangat, sangat sadar tentang beberapa hal dalam sepak bola dan tidak pernah lupa dengan itu. Itu adalah sesuatu yang mungkin orang tidak tahu, tapi bagi saya, itu menunjukkan bahwa ia memiliki hati yang besar bagi klub (dan sepak bola)," kata Arnesen mengomentari mantan juragannya.
Namun kemunculan Roman di Chelsea sekaligus anomali. Karena Roman-lah, salah satunya, sepak bola beralih secara sempurna menjadi perkara uang dan bisnis sepak bola modern mendapat bentuknya lewat ekspoitasi penggemar dari seluruh dunia.
SKY SPORTS | BORNRICH | KHAIRUL ANAM
Baca juga:
Radja Nainggolan: Saya Bukan Tentara Bayaran!
Cafu Minta Balotelli Kontrol Emosinya
Persija Batalkan Pertandingan, Semen Padang Protes
Mourinho Janji Akan Irit Demi Financial Fair Play