TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Basrief Arief bakal meminta Mahkamah Agung menunda eksekusi mati bapak dan anak yang menjadi terpidana pembunuhan, Ruben Pata Sambo dan Markus Pata Sambo, pada tahun ini. Pernyataan Basrief dikutip Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) seusai pertemuan tertutup di Kejaksaan Agung, Kamis, 20 Juni 2013.
"Kami minta agar kedua terpidana tidak dieksekusi dulu atau dikeluarkan namanya dari daftar eksekusi, Pak Basrief bilang bukan dikeluarkan namanya, tapi tidak dieksekusi dulu untuk tahun ini," ujar Koordinator KontraS Haris Azhar di Kejaksaan Agung, Kamis, 20 Juni 2013. "Dalam artian Pak Basrief akan melihat kasus ini lebih jauh dan mendiskusikan dengan pimpinan Mahkamah," ucap Haris.
Ruben Pata Sambo dan Markus Pata Sambo divonis membunuh pasangan Andrias Pandin dan Martina La'biran serta dua orang anggota keluarga lainnya pada 23 Desember 2005 di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Ruben dan Markus dikenai hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Makale, Tana Toraja, pada 2006. Pada 2008 upaya Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung, namun PK ditolak dengan bukti tidak cukup.
Namun belakangan, empat pelaku pembunuhan sebenarnya ditangkap polisi. Mereka membuat pernyataan bermaterai pada 30 November 2006 lalu yang menyebut Ruben dan anaknya bukan otak ataupun pelaku pembunuhan. Mereka yang membuat pernyataan adalah Yulianus Maraya (24), Juni (19), Petrus Ta'dan (17), dan Agustinus Sambo (22). Mereka adalah warga Jalan Ampera, Makale, Tana Toraja. Meski demikian, hukuman untuk Ruben dan anaknya tidak dicabut. Bahkan, Mahkamah telah menjadwalkan vonis mati mereka pada tahun ini.
Haris mengatakan Jaksa Basrief juga mensinyalir dugaan rekayasa di balik kasus ini. Namun, Basrief, kata Haris, menyayangkan dugaan muncul setelah vonis pada pengadilan terakhir sudah terbit. "Tetapi Pak Basrief mengaku akan mengkomunikasikannya lebih lanjut, salah satu pejabatnya juga ditunjuk berkomunikasi dengan pihak terpidana," ujar dia.
Haris menambahkan seharusnya Jaksa Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Markas Besar Polri punya solusi terhadap perkara rekayasa seperti ini. Sebab, mereka memiliki kewenangan dan sumber daya yang mumpuni. "Harus ada solusi nyata kerena kasus ini jelas penuh rekayasa," ujarnya.
TRI SUHARMAN
EDSUS HUT Jakarta | Kenaikan Harga BBM | Rusuh KJRI Jeddah
Baca juga:
Gaji Pilot Lion Air Sekitar Rp 45 Juta per Bulan
Lion Air Berambisi Kuasai Penerbangan ASEAN
Utang Pemerintah ke Pertamina Rp 25 Triliun
BBM Naik, Tarif Angkutan Naik 30-35 Persen
Rupiah Tembus 10.000
Lion Air Tantang AirAsia dan Tiger Airways