TEMPO.CO, Hongkong - Saat ia menarik sebuah koper hitam kecil dan menggendong sejumlah tas laptop di atas bahunya, tak banyak yang memberi perhatian terhadapnya di Bandara Internasional Hong Kong, 20 Mei lalu. Edward Snowden membawa empat komputer yang memungkinkannya mengakses beberapa dokumen paling rahasia pemerintah Amerika Serikat.
Lebih dari tiga minggu kemudian, ia menjadi orang paling dicari setelah mengakui sebagai pembocor dua program rahasia badan intelijen Amerika, National Security Agency (NSA). Pertama, soal NSA yang mengumpulkan catatan telpon pelanggan operator komunikasi Verizon. Kedua, program PRISM yang memungkinkan NSA mengakses server sembilan perusahaan raksasa internet Amerika seperti Google, Facebook, Microsoft, dan Yahoo.
Snowdean lahir 21 Juni 1983 dan dibesarkan di Wilmington, North Carolina, sebelum pindah ke Ellicott City, Maryland. Ibunya, Wendy, adalah wakil kepala petugas administrasi dan teknologi informasi di pengadilan federal di Baltimore. Ayahnya, Lonnie, mantan perwira Coast Guard yang tinggal di Pennsylvania.
Dia tidak menyelesaikan sekolah tingginya, tapi belajar komputer dan mendapatkan ijazah. Snowden menghabiskan empat bulannya sebagai tentara cadangan Angkatan Darat, dari Mei sampai September 2004. Ia mengaku dipecat setelah kakinya patah akibat kecelakaan.
Karir pertamanya di pemerintahan sebagai petugas keamanan NSA, sebelum pindah ke bidang teknologi informasi CIA (Central Intelligence Agency), Dinas Rahasia Amerika. CIA menempatkannya di Jenewa tahun 2007. Ia keluar dari badan mata-mata itu tahun 2009 dan pindah ke sejumlah kontraktor swasta, termasuk Dell dan Booz Allen. Saat di Booz Allen, ia kembali ke NSA yang kemudian menugaskannya ke Jepang, lalu Hawaii.
Saat ia terbang dari Hawai menuju Hong Kong pada 20 Mei itu, Snowden pamit cuti kepada kolega NSA-nya untuk pengobatan epilepsinya. Kenyataannya, dia akan bertemu Glenn Greenwald dan Laura Poitras. Greenwald adalah penulis kolom komentar media Inggris, Guardian. Poitras adalah pembuat film dokumenter.
Snowden mengidentifikasi dirinya sebagai mata-mata. "Saya menjadi mata-mata hampir sepanjang usia dewasa saya," katanya kepada Washington Post. Saat berkomunikasi dengan wartawan Post, ia menggunakan kode "VERAX," atau 'penutur kebenaran' dalam bahasa Latin.
Pertemuan Hongkong itu sudah disiapkan lama. Januari lalu, ia mengontak Poitras. Pertengahan Februari, ia mengirim email ke Greenwald di Brazil. Tak yakin dengan tawaran soal bocoran dokumen rahasia, Greenwald tak bertindak untuk menanggapi tawaran tersebut. Maret lalu, Poitras menelpon dan meyakinkan Greenwald untuk menerima tawaran Snowden.
Greenwald lantas ke New York, Amerika Serikat, untuk berbicara dengan editor Guardian di sana, 31 Mei. Hari berikutnya, ia dan Poitras terbang ke Hong Kong. "Dia memiliki beberapa skema rumit untuk bertemu," kata Greenwald. Snowden menyuruhnya pergi ke sebuah lokasi di lantai tiga sebuah hotel dan bertanya dengan suara keras ke mana arah menuju restoran. Lalu mereka pergi ke sebuah ruangan berisi buaya besar tiruan, dan bertemu pria membawa Kubus Rubik.
Greenwald dan Poitras terkejut ketika yang ditemuinya laki-laki 29 tahun, jauh dari seperti yang dibayangkannya: laki-laki beruban, seorang veteran, yang usianya 60 tahunan. "Ini perjalanan sia-sia," pikir Greenwald dalam hati, saat itu. Setelah satu jam mendengarkan informasi dari Snowden, pandangan Greenwald berubah dan ia mulai percaya kepadanya.
Greenwald, dan Poitras, mewawancarai Snowden di kamar yang ia sudah huni selama sekitar dua pekan, dan berita pertamanya muncul di Guardian Kamis, 6 Juni 2013. Snowden memutuskan untuk tidak menjadi sumber anonim karena ia tak ingin keluarga dan teman-temannya direpotkan oleh aksi 'berbahayanya' ini. "Saya tidak punya niat untuk menyembunyikan siapa saya karena saya tahu saya tak berbuat salah," katanya.
Saat berita itu keluar dan namanya disebut, ia tahu dalam bahaya. Minggu 9 Juni 2013, Snowden memberikan wawancara terakhirnya, sebelum akhirnya keluar dari hotel dan menghilang. Dua hari sebelumnya, Presiden Amerika Barack Obama memberikan konferensi pers yang membela program penyadapan NSA.
Hongkong dipilih sebagai tempat berlabuh karena, kata Snowden, "memiliki komitmen untuk menghormati kebebasan berbicara dan berbeda pendapat politik."Ia percaya bahwa Hongkong adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang bisa menolak didikte Amerika.
Guardian | Daily Beast | Abdul Manan