TEMPO.CO, Jakarta -Sejumlah anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat curhat karena merasa pernah disadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka meminta penyadapan tidak hanya diatur melalui peraturan internal KPK, tetapi melalui undang-undang. (Baca: Pasal penyadapan tak berlaku bagi KPK)
"Saya marah-marah ke istri, KPK tahu," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera Aboe Bakar Alhabsyi saat rapat dengan KPK di kompleks parlemen, Senayan, Kamis, 27 Juni 2013. Dia bahkan sempat menyarankan kepada koleganya agar tidak meneleponnya karena bisa disadap KPK. Bahkan, kata dia, ada orang mempertanyakan kenapa kader PKS marah-marah ke istri. "Saat disadap saya sedang marah ke istri, waktu disayang-sayang, tidak," kata Aboe.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Yani juga merasa disadap oleh KPK. Yani mempertanyakan penyadapan KPK pada telepon selulernya. "Apa salah saya, apa ada langkah-langkah melakukan korupsi," kata dia. Dia merasa hak pribadinya dirampas akibat penyadapan ini.
Politikus PKS lainnya, Fahri Hazah juga memprotes penyadapan yang dilakukan KPK. Menurut dia, sampai sekarang KPK tidak pernah memberikan standar operasional prosedur (SOP) penyadapan kepada DPR. "Saya tanya ke staf, tidak pernah diberikan SOP itu," kata dia.
Penyadapan seharusnya diatur dalam undang-undang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Sembari mengutip ayat Al-Qur'an, Fahri bahkan menuding KPK berdosa besar melakukan penyadapan. "KPK jangan terjebak pada industri media yang saling bunuh," kata dia.
WAYAN AGUS PURNOMO
Berita lainnya:
Alasan Penyiksaan oleh Aparat Polisi
Ini Alasan Korea Batasi RI Belajar Kapal Selam
Kronologi Bayi Meninggal Setelah Ditolak 4 RS
SBY: Berita Asap Media Singapura Berlebihan