TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar, mengatakan praktek suap yang terjadi di Kepolisian RI terjadi karena lemahnya sistem administrasi dan tak adanya penghargaan. "Orientasi mereka sekadar pada jabatan individual, bukan menempati sistem untuk mengabdi," kata Bambang saat dihubungi Tempo, Senin, 1 Juli 2013.
Bambang menjelaskan, faktor utama masih maraknya praktek suap tersebut adalah lemahnya pengawasan baik dari internal maupun pihak eksternal Polri. "Seharusnya bisa diperkuat dari pengawasan eksternal, karena untuk internal sudah sangat lemah," ujar Bambang.
Lemahnya pengawasan internal tersebut, menurut Bambang, dipengaruhi juga dengan penindakan yang tidak serius dari bagian profesi dan pengawasan. "Penindaknya juga bisa jadi pelaku, maka ada semacam dilema dari mereka untuk menindak tegas," tutur Bambang.
Kelemahan sistem, menurut Bambang, dipengaruhi pula faktor sosok pimpinan yang belum ditakuti. Jika pimpinan bisa ditakuti dan bersikap tegas, boleh jadi praktek ini berkurang, bahkan hilang. Dugaan praktek suap ini, kata Bambang, diperkirakan berlangsung sejak lama. "Maraknya, setelah era reformasi."
Seorang perwira menengah di Kepolisian Daerah Jawa Tengah sempat ditangkap atas dugaan suap untuk mendapatkan jabatan tertentu pada 21 Juni lalu. Dalam kasus tersebut, polisi menangkap Ajun Komisaris Besar berinisial ES yang sekarang menjabat Wakil DIrektur Satuan Bhayangkara Polda Jateng.
ES sebelumnya pernah bertugas di Kepolisian Resor Karanganyar, Jawa Tengah. Pada 26 Juni lalu, Kepala Divisi Hubungan Mabes Polri, Brigadir Jenderal Ronny Franky Sompie, mengatakan perwira ini dipulangkan ke tempat dinasnya. Pertimbangan pembebasan pelaku adalah kurangnya bukti yang bisa digunakan untuk menahan dia.
ISMI DAMAYANTI