TEMPO.CO, Bekasi - Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Pelabuhan (Fokapel) Panjang, Provinsi Lampung, Jasril Tanjung, meminta pemerintah mengevalusi operasional Pelabuhan Panjang, Lampung, yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II. "Menyusul tingginya tingkat antrean kapal dan munculnya biaya tinggi di pelabuhan," katanya melalui keterangan resmi, Kamis, 18 Juli 2013.
Menurut data Forkapel Panjang, antrean kapal mencapai 27 unit pada 12 Juli silam. Hingga saat ini, puluhan kapal masih mengantre. Jasril menuturkan, pemerintah perlu melakukan evaluasi agar pertumbuhan arus kapal dan barang di pelabuhan tersebut bisa diantisipasi.
Ia berpendapat program peningkatan produktivitas dan efisiensi di Pelabuhan Panjang melalui penambahan fasilitas bongkar-muat tidak berhasil. Sebaliknya, muncul biaya baru yang menjadi beban tinggi bagi pengiriman barang.
Biaya yang dimaksud adalah pengenaan tarif jip crane sebesar Rp 14.500 per ton di dermaga D. Selain itu biaya imbal jasa juga dikenakan kepada perusahaan bongka-muat yang melakukan aktivitas di dermaga tersebut sebesar Rp 2.300 per ton yang sebelumnya tidak ada.
Menurut Forkapel Panjang, biaya tersebut muncul dengan persetujuan Kementerian Perhubungan yang mengubah dermaga umum D menjadi dermaga khusus curah kering. Di atas dermaga itu terdapat fasilitas bongkar-muat jenis jip crane.
Sementara itu, tarif jasa di dermaga A, B, dan C sebesar Rp 250 per ton. Dengan begitu, Jasril mengatakan, banyak kapal yang mengubah ukuran menjadi di bawah 30 ribu ton agar bisa sandar di dermaga yang lebih murah. "Sekaligus untuk menghindari pengenaan biaya jip crane yang terbilang mahal," ucapnya. Ia mengungkapkan, PT Pelindo II memaksa setiap kapal yang sandar di dermaga D untuk menggunakan jip crane dengan alasan peningkatan produktivitas bongkar-muat.
Ketua Dewan Pengurus Cabang Indonesian National Shipowners Association (INSA) Panjang, Yusirwan, meragukan manfaat jip crane di Pelabuhan Panjang. "Justru sekarang produktivitas crane kapal masih lebih baik dibandingkan produktivitas jip crane milik PT Pelindo II," katanya.
Namun, ia mengatakan, kapal yang sandar di dermaga D hanya diperbolehkan menggunakan jip crane tersebut dan dilarang menggunakan crane kapal sendiri. Yusirwan pun mempertanyakan investasi jip crane untuk kegiatan curah kering yang menurutnya kurang lazim di dunia pelayaran. "Biasanya untuk kegiatan curah kering menggunakan peralatan bongkar muat jenis konvenyor, bukan jip crane," ujarnya.
MARIA YUNIAR