Burhanuddin: Puasa di Australia Hanya 12 Jam  

Editor

Nur Haryanto

TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO.CO, Jakarta - Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan kandidat PhD Australian National University (ANU) mengisahkan puasa di negeri Kanguru. ini pengalamannya:

Australia adalah salah satu negara dengan keragaman etnis dan agama paling kaya di dunia. Salah satu agama yang paling cepat berkembang di Negeri Kanguru ini adalah Islam. Menurut data sensus terakhir, proporsi umat Islam di Australia mencapai 2,2 persen penduduk. Dari keseluruhan warga Australia yang beragama Islam, 40 persen di antaranya lahir di Australia, sedangkan 60 persen lainnya datang dari berbagai negara di dunia seperti Libanon, Turki, Indonesia, Pakistan, dan Bosnia

Berpuasa di negeri yang mayoritas warganya non-muslim tentu memiliki nuansa yang berbeda. Ini bukan yang pertama saya menikmati Ramadan di Australia. Bedanya, tahun ini Ramadan jatuh pada musim dingin. Di Canberra, tempat saya sekarang menempuh studi doktoral, suhu udara kadang menyentuh hingga minus 6 derajat Celsius.

Ada untung dan ruginya berpuasa di musim dingin. Waktu siang lebih pendek, sehingga durasi berpuasa 11-12 jam saja. Imsak di Canberra dimulai pukul 5.42 dan waktu berbuka puasa pada pukul 17.09. Hawa dingin juga membuat rasa haus tak terasa. Repotnya sewaktu sahur. Waktu malam yang berlangsung lebih lama dan suhu ekstrem membuat kita malas bangun sahur. Musim dingin juga membuat perut terasa cepat lapar.

Satu hal yang tak bisa saya nikmati ketika berpuasa di Australia adalah nuansa festival puasa. Di Indonesia, Ramadan bukan sekadar bulan suci, tapi juga punya makna sosial dan festival yang tinggi. Ada acara berbuka bersama di mana-mana, sahur on the road, televisi ramai oleh acara keagamaan, baik yang bermutu maupun tidak, dan lain-lain. Di Australia, bulan puasa dengan bulan-bulan biasa nyaris tak ada bedanya. Kuliah tetap berjalan biasa.

Karena itu, saya selalu menyempatkan hadir di acara-acara berbuka puasa bersama yang digelar Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra. Selain untuk bertemu dengan sesama warga Indonesia, hidangan kolak dan menu Indonesia lainnya membuat rasa kangen masakan-masakan Tanah Air bisa terobati. Acara pengajian juga rutin dilakukan KBRI dan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Canberra.

Di ibu kota negara ini, pusat kegiatan ritual umat Islam Canberra cuma berpusat di Masjid Yarralumla. Di kampus saya, Australian National University Muslim Association (ANUMA), juga rajin digelar kegiatan selama puasa, seperti tadarus Al-Quran dan ceramah agama.

Di Australia, puasa berlangsung syahdu dan sunyi. Tak ada suara azan atau pengajian yang disampaikan melalui pengeras suara yang memekakkan telinga. Tak ada sweeping Front Pembela Islam terhadap orang yang tak berpuasa maupun kelab-kelab malam yang tetap buka. Juga tidak ada acara-acara sahur yang berisi lawakan-lawakan tak lucu yang menghiasi ruang publik kita di televisi.