Malam 1.000 Bulan, Waktunya Dila Jojor Menyala

Editor

Nur Haryanto

Ratusan santri pondok pesantren Jagastru berpawai sambil membawa obor mengelilingi Kota Cirebon, Jawa Barat, dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1434 H, Rabu (14/11). TEMPO/Subekti
Ratusan santri pondok pesantren Jagastru berpawai sambil membawa obor mengelilingi Kota Cirebon, Jawa Barat, dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1434 H, Rabu (14/11). TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Lombok - Tradisi menyalakan dila jojor sebagai lampu penerang oleh masyarakat Sasak, Lombok, dimulai kemarin malam, seiring tibanya 10 hari terakhir Ramadan. Orang-orang menyalakan dila jojor terutama pada malam-malam ganjil. Tradisi ini merupakan perayaan menyambut malam lailatul qadar yang turun pada satu malam ganjil. Dalam bahasa Sasak, dila berarti lampu atau penerangan.

Dila jojor adalah obor kecil, terbuat dari sebatang bambu yang sudah dibentuk seperti tusukan sate, tapi ukurannya lebih besar. Selanjutnya, bahan getah dari biji jarak ditumbuk dan dipadukan dengan kapas sehingga menjadi hitam, lalu dililitkan ke batang bambu. Jadinya seperti sate.

Tradisi menyalakan dila jojor masih dipertahankan, misalnya di Desa Kuripan dan Nyiur Lembang di Kabupaten Lombok Barat, serta Pagutan dan Dasan Agung di Kota Mataram. Anak-anak duduk berkerumun, membuat kelompok-kelompok di bawah dila jojor sambil menunggu waktu salat tarawih. Tak jarang anak-anak kecil mengaraknya keliling kampung.

Ketua Nahdlatul Ulama Cabang Mataram, Fairuzabadi, 48 tahun, menyebutkan nyala api dari dila jojor ini sebagai cahaya Ramadan. Aktivitas ini menjadi refleksi muslim Sasak setiap malam ganjil pada 10 malam terakhir. "Menyalakan dila jojor merupakan bentuk simbolisasi malam terang benderang," katanya kepada Tempo, kemarin.

Tradisi itu, dia menjelaskan, tidak lepas dari pemahaman kultural cahaya sebagai lambang kebaikan. "Zaman dulu, kan, belum ada listrik, jadi simbolnya pakai obor," katanya. Dila jojor pun dipasang di tembok rumah, di pintu gerbang, setiap sudut, dan jalanan menuju rumah.

Ritual menyalakan dila jojor ini mengawali rangkaian perayaan menyambut malam lailatul qadar. Malam penuh berkah ini turun pada malam-malam ganjil, yakni malam ke-21, 23, 25, 27, dan malam terakhir, 29 Ramadan. Malam lailatul qadar itu hanya turun pada bulan Ramadan dan sangat didambakan umat Islam. Sebab, jika beribadah pada malam tersebut, pahalanya lebih baik dari 1.000 bulan.

Masyarakat Sasak menyebut malam-malam ganjil ini sebagai maleman. Tradisi maleman diisi dengan kegiatan-kegiatan ibadah. Para remaja dan kelompok tadarusan menamatkan atau mengkhatamkan Al-Quran.

Menjelang maleman, dila jojor pun dinyalakan seusai berbuka puasa. Menurut seorang tokoh agama Mataram, Muhammad Yasin, saat menancapkan dila jojor, masyarakat biasa membacakan salawat kepada Nabi Muhammad dan berdoa semoga bisa bertemu dengan malam lailatul qadar. "Pembakaran dila jojor konon katanya untuk menerangi malaikat yang turun ke bumi."

SUPRIYANTHO KHAFID


Topik terhangat:


Anggita Sari
| Bisnis Yusuf Mansur | Kursi Panas Kapolri

Baca juga:
Jokowi Blusukan: `Pemerintah Kebobolan`

Dipaksa Minta Maaf, Ahok Telpon Haji Lulung

Dahlan Iskan Bakal Calon Presiden dari Demokrat