Anwar Fuadi Mengungkap 'Mudik Sejati'  

Editor

Nur Haryanto

Ahmad Fuadi. Dok. Pribadi
Ahmad Fuadi. Dok. Pribadi

TEMPO.CO, Jakarta - Ahmad Fuadi, penulis novel Negeri Lima Menara, berbicara soal mudik. Bagaimana fenomena mudik menurut dia, ikuti penuturan pemilik akun Twitter @fuadi1 ini.

Sudahkah Anda mendapatkan tiket mudik? Akhir-akhir ini mudik menjadi tema penting dalam berita atau obrolan di kantor dan media sosial. Mudik adalah bagian dari siklus kehebohan massal nasional: puasa-Lebaran-mudik. Siklus yang selalu terulang saban tahun.

Puasa dan Lebaran memang kerap menuntun kenangan batin kita untuk pulang ke akar kita berawal dulu. Kerinduan kembali ke asal-muasal inilah yang kita amalkan dalam bentuk ritual mudik.

Namun, tidak semua beruntung punya waktu dan kesempatan mudik. Mereka yang menetap di luar negeri tak banyak yang bisa mudik. Ketika tinggal di Washington, DC, saya dan istri, Yayi, tidak berlebaran di Tanah Air selama beberapa tahun.

Untuk pengobat rindu, seperti halnya para perantau lain, kami memanfaatkan bulan puasa dan Lebaran untuk mendekatkan diri dengan kawan-kawan sebangsa. Acara berbuka puasa bersama kerap kami hadiri di lantai bawah Kedutaan Besar Indonesia di kawasan Dupont Circle, dilanjutkan salat tarawih berjemaah di ballroom gedung yang antik ini. Suasana religius di tengah zikir dan bacaan Al-Quran yang mengapung kian mengentalkan kerinduan untuk pulang kampung.

Tahun lalu saya dan istri menjalankan salat id di Cape Town, Afrika Selatan. Baru saja menjejakkan kaki di pintu masjid di kawasan Bo-Kaap, saya sudah disapa seorang lelaki separuh baya. “Dari Indonesia?” Tapi hanya itu sepotong bahasa Indonesia yang dia kuasai karena nenek moyangnya yang dari Jawa sudah tiga abad hidup turun-temurun di sini. Sapaan tadi rasanya adalah kerinduan bawah sadarnya kepada kampung halaman.

Memang, Islam tersebar di Afrika Selatan, antara lain melalui perantaraan ulama serta orang Jawa dan Sulawesi yang dibuang Belanda ke sini pada abad ke-18. Walhasil, masjid pertama di Afrika Selatan didirikan para imigran tersebut.

Momentum puasa dan Lebaran bisa juga dimanfaatkan tidak hanya untuk mengingat mudik fisik, tapi juga “mudik sejati”. Inilah kepulangan agung manusia kembali dari perantauan dunia menuju Sang Pencipta. Dari mana kita datang? Ke mana kita pulang selamanya?

Kita hakikatnya adalah perantau sementara dalam kehidupan ini. Kita datang dari sebuah asal di atas sana, berkelana sebentar di dunia, lalu akan tiba suatu waktunya pulang ke asal. Statistik menunjukkan, setiap hari 400 ribu bayi hadir ke dunia dan 200 ribu orang meninggal. Alias setiap detik 5 bayi lahir dan 2 orang meninggal. Kita manusia, lalu-lalang, merantau, dan “mudik” setiap hari.

Hari ini mungkin banyak di antara kita yang lega karena sudah mengantongi tiket mudik, tak peduli harganya melejit tinggi, dan mesti memesan jauh-jauh hari. Itu semua akan terbayar oleh rindu kepada orang tua, kerabat, dan kampung halaman, yang bakal tertunaikan.

Tapi bagaimana dengan tiket untuk mudik sejati? Tiket ini sudah disiapkan gratis oleh Sang Pencipta. Hanya, kita tidak bisa memesan tanggal kepulangan. Dia akan diantarkan sewaktu-waktu oleh kurir Izrail sebagai kejutan. Menghadapi itu, tak ada yang bisa kita lakukan, kecuali menyiapkan bekal berupa amal terbaik terus-menerus. Sejak hari ini.