TEMPO.CO, Jakarta - Riset Pusat Data Kemiskinan Dompet Dhuafa menyebutkan, jumlah pemudik tahun 2013 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta orang. Dari jumlah tersebut yang menggunakan angkutan umum ada 18.098.837 juta orang dan sisanya menggunakan moda transportasi darat dengan kendaraan pribadi.
Pergerakan manusia besar-besaran dalam waktu bersamaan ini tentu diikuti dengan perputaran ekonomi yang besar pula. Pasalnya, hampir 56 persen penduduk di kota-kota besar melakukan ritual tahunan ini. Berdasarkan tren perhitungan BI, jumlah uang yang beredar sampai H-3 Lebaran mencapai Rp 300 triliun.
Menurut Muhammad Sabeth Abilawa, GM Social Development Dompet Dhuafa, jika dihitung proporsi komponen konsumsi masyarakat sekitar 56 persen dan memperhitungkan jumlah pemudik, maka diperkirakan potensi aliran ekonomi mudik dari kota ke desa desa di seluruh pelosok Indonesia pada jelang Lebaran berkisar di angka 90,08 triliun rupiah.
Abilawa menambahkan, dana yang cukup besar itu mengalir melalui transportasi yang digunakan pemudik, kedermawanan kepada sanak keluarga, dan untuk kebutuhan wisata.
Bahkan, jika tidak mudik sekali pun, komponen kedua, yaitu kedermawanan kepada keluarga dalam bentuk transfer, misalnya, dari penelitian ini ada temuan yang menarik. "Ada 52% lebih pemudik menunaikan zakatnya di daerah tujuan. Dan dengan menggunakan perhitungan, maka diperkirakan 14,7 triliun zakat orang kota mengalir ke daerah-daerah,” kata Abilawa.
Sayangnya, apakah angka ekonomi mudik yang sangat besar ini, yakni 90,08 triliun rupiah, menjadi efektif untuk stimulus ekonomi daerah tujuan? Lembaga ini melalui fungsi social development mencoba mencari jawabannya melalui riset ekonomi mudik untuk melihat berapa besaran uang yang bisa dialirkan ke daerah.
“Dari riset itu akan diketahui, berapa uang yang tercecer di jalan melalui transportasi, berapa yang dibelanjakan untuk konsumsi, dan berapa rupiah yang diberikan kepada sanak saudara," kata dia. Juga jumlah berapa yang masuk ke kas negara melalui pajak tiket dan BBM, berapa yang masuk ke sektor swasta melalui biro perjalanan dan berapa rupiah yang benar-benar berputar di daerah.
Mudik sebenarnya fenomena sosial-keagamaan khas Indonesia. Jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyadari potensi perputaran uang di balik hajatan besar rakyat Indonesia, maka mereka bisa melakukan semacam social engineering (rekayasa sosial) untuk memberi dorongan uang tersebut bisa digunakan untuk membangun daerahnya, baik melalui investasi usaha kecil di daerah-daerah.
EVIETA FADJAR