Pengurus NU Sumenep Ingatkan Kelembutan Beragama  

Editor

Nur Haryanto

TEMPO/Andry Prasetyo
TEMPO/Andry Prasetyo

TEMPO.CO, Jakarta - Syarif Hidayat Santoso, Pengurus Majelis Wakil Cabang NU Kota Sumenep, menceritakan kembali kisah nabi dan wahyu Allah, perilaku yang lemah lembut.

Alkisah, setelah Muhammad menerima wahyu perdana dan penampakan Jibril yang menghinggapi getaran jiwanya, Khadijah, istri pertama Nabi, langsung berinisiatif untuk bertanya kepada sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah pembelajar kitab-kitab semitik. Kata Waraqah, "Quddus, Quddus. Sesungguhnya telah tiba kepadanya namus akbar yang dulu pernah datang kepada Musa." Kitab-kitab tarikh mengartikan namus sebagai malaikat Jibril.

Namun, menurut Toshihiko Izutsu (2003), namus setara dengan nomos dalam bahasa Yunani yang berarti “hukum”. Istilah namus menyambungkan Islam sebagai kesadaran terbuka yang berinisiatif melihat realitas lain sebagai kawan seirama. Sejak awal, Tuhan telah menyandingkan harmonisasi yang tidak bersifat "menabrakkan" antara Islam dan agama semitik lain, seperti Yahudi, karena menyebut namus sebagai entitas yang secara sama turun kepada Nabi Muhammad dan Nabi Musa.

Indah sekali relasi perdana antara langit dan bumi ini. Konstruksi awal yang diciptakan Tuhan adalah sebuah hubungan tak terputus dalam sejarah. Desain Islam semacam inilah yang sebenarnya merupakan rancangan awal tentang sesuatu yang tsabit (mapan). Tapi fakta sejarah mencairkan konstruksi harmonis ini. Wahyu yang tertera dalam Al-Quran tiba-tiba berlainan rasa menjadi tahawwul (berubah) di tangan para "mujahidin" dan tak lagi konsisten dengan dialogis. Wahyu menjadi monologis dan sibuk melahirkan antitesis terhadap tradisi semitik di luar Islam.

Lebih parah lagi, karena dikaitkan dengan Musa, namus menjadi hilang kelembutannya. Kita dihinggapi satu sikap bahwa Islam haruslah seperti Musa yang keras. Padahal sejatinya dalam diri Musa juga tercetak kelembutan. Tahukah kita adab Musa terhadap Firaun?

Tuhan menggambarkannya dalam Taha 43-44, "Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." Lihatlah pesan Tuhan kepada Musa dan Harun agar berbicara lembut kepada Firaun. Inilah kelembutan itu, di mana etika dijunjung tinggi meski ketika berhadapan dengan tiran yang mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan.

Berkebalikan dengan fakta akhir-akhir ini, betapa kasarnya mereka yang mengaku pejuang Islam. Sesaat setelah bentrokan di Kendal, Jawa Tengah, ada tokoh Islam negeri ini menyebut SBY sebagai pecundang. Apakah ini etika beragama kita?

Wahyu perdana yang turun kepada Nabi Muhammad jelas sebentuk sikap peneguhan atas karakter kelembutan. Aktivitas ketuhanan yang berkomitmen memecahkan persoalan tanpa melahirkan persoalan baru. Sikap lemah lembut dianjurkan Al-Quran kepada kita. "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,” Ali Imran: 159. Walhasil, paras keras beragama sebenarnya tak mendapatkan tempat dalam Islam.