Beribadah Khusyuk di Kampung Anti-Speaker  

Editor

Nur Haryanto

Seorang bocah menguap ketika ikut salat tarawih di samping ibunya, pada malam pertama bulan Ramadan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (9/7). REUTERS/Enny Nuraheni
Seorang bocah menguap ketika ikut salat tarawih di samping ibunya, pada malam pertama bulan Ramadan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (9/7). REUTERS/Enny Nuraheni

TEMPO.CO, Jakarta - Jarum jam menunjukkan pukul 12.01 WIB. Tatkala jemaah yang terdiri atas sekitar 40 orang telah berkumpul, seorang muazin mengumandangkan azan zuhur di sisi mihrab masjid yang terletak di Kampung Pakaladenan, Desa Cibalung, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, itu.

Namun Tempo, yang ikut salat di sana, merasakan ada nuansa yang ganjil namun unik. Suara azan yang syahdu tersebut ternyata hanya membahana di dalam masjid permanen berukuran 12 x 10 meter tersebut. Setelah azan, jemaah menunaikan salat dan berdoa dengan khusyuk. Juga tanpa loud speaker atau pengeras suara.

Suara azan melalui pengeras suara justru terdengar sayup-sayup dari kampung lain yang berjarak sekitar 500 meter dari Kampung Pakaladenan. Di masjid Pakaladenan, tidak ditemui amplifier, mikrofon, dan pengeras suara. Di atas kubah masjid pun tak ada pengeras suara.

Jemaah umumnya menghindar dan tidak mau menjelaskan alasan kenapa masjid di kampung itu tidak menggunakan perkakas elektronik sebagai alat komunikasi untuk menyerukan panggilan salat. Seorang laki-laki berumur 60 tahun, yang meminta identitasnya tidak dicantumkan, menjelaskan secuil misteri. Itu pun setelah jemaah lain sudah hilang dari pandangan. Menurut dia, para tetua masyarakat setempat tidak mau tradisi di kampung itu diekspos media massa.

Menurut dia, tradisi ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. “Sebagian besar warga kampung menganggap speaker, radio, dan televisi merupakan barang yang lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya,” ujarnya.

“Menggunakan speaker di masjid dianggap sebagai bidah (tata cara peribadatan yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad).” Alasannya, pada masa Rasulullah, tidak ada pengeras suara. Saking antinya kepada pengeras suara, warga dari luar Kampung Pakaladenan menjulukinya sebagai Kampung “Anti-Speaker”, disingkat Aspek.

Rupanya, komunitas anti-speaker tidak hanya terbentuk di Kampung Pakaladenan, tapi juga di kampung tetangga, seperti Cibalung, Legok Bean, Ciapok, Kamung Mara Cideung, Jaonggo, dan Jonggol. Beberapa kampung lain juga masuk kategori anti-speaker, yang tersebar di Bogor, Sukabumi, dan Cianjur.

Walau anti-speaker, mereka tidak anti-listrik. Bagi mereka, listrik yang masuk ke desa-desa hanyalah untuk penerangan rumah. Mereka juga bersahabat dengan sepeda motor, mobil, dan telepon seluler.

Tetapi speaker yang “haram” itu menjadi “halal” pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada hari yang suci itu, di beberapa kampung, masjid-masjid anti-speaker mengumandangkan takbir dengan pengeras suara. Tentu saja mereka tidak membeli alat itu. “Speaker-nya pinjaman dari balai desa,” kata pria tersebut.

M SIDIK PERMANA | ALI ANWAR