TEMPO.CO, Jakarta -- Wajahnya memang tak sangar. Tapi, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dikenal dengan sosoknya yang galak, sejak menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta Oktober 2012. Pernyataan Ahok kerap membikin kuping merah, lebih-lebih bagi mereka yang berseberangan pendapat.
Sebagian orang bahkan menilainya kasar, tanpa sopan santun. Tapi Ahok mengaku bicara ceplas-ceplos sudah jadi karakternya. Jadi, apa boleh buat, kata Ahok, dia akan jalan terus dengan watak keterusterangan. “Ini karena kami tak punya beban untuk bicara terus terang,” kata Ahok dalam percakapannya dengan Tempo, awal Juli 2013 lalu. “Kami hanya taat pada konstitusi.”
Seperti apa percakapan Ahok dengan Tempo di ruang kerjanya, Juli 2013? Berikut ini petikannya.
Kajian lengkap tentang problem Jakarta sudah berulang kali dilakukan. Tapi kenapa masalah Ibu Kota sulit dipecahkan sejak dulu?
Masalahnya, ada atau tidak pemimpin yang berani taat hanya pada konstitusi, dan bukan taat konstituen serta kepentingan lain. Di Jakarta ini, kelas melarat punya oknum, kelas konglomerat juga memiliki oknum.
Berani menyenggol konglomerat?
Berani saja karena tak punya kepentingan dan hanya taat pada konstitusi. Kami bisa senggol kelas melarat sampai konglomerat. Semua masalah, toh, sudah dipetakan. Kajian dan solusinya dari berbagai universitas ataupun lembaga tingkat dunia sudah ada. Di Jakarta itu, kan, tinggal eksekusi. Itu yang selalu dikatakan Pak Jokowi. Ini beda dengan daerah.
Selengkapnya wawancara:
Ahok II: Jakarta Bukan Sulap Lampu Aladin
Ahok III: Lebih Baik Didik Rakyat Taat Konstitusi
WIDIARSI AGUSTINA | DWI WIYANA