TEMPO.CO, Jakarta - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia kemarin memutuskan untuk menahan suku bunga acuan (BI Rate) di level 6,5 persen. BI meyakini stabilitas moneter dan sistem keuangan bisa dicapai melalui bauran kebijakan moneter dan macro-prudential.
“Pengendalian inflasi, pengelolaan neraca pembayaran yang lebih sustainable, dan penguatan stabilitas sistem keuangan, dilakukan melalui optimalisasi sejumlah instrumen kebijakan moneter dan macro-prudential,” kata juru bicara BI, Peter Jacobs, Kamis 15 Agustus 2013.
Secara umum, bank sentral akan menjalankan empat kebijakan. Pertama, Bank Sentral akan menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), yang bisa dimanfaatkan oleh perbankan domestik. Instrumen ini dimaksudkan untuk mengelola likuiditas rupiah.
Kedua, BI akan menyempurnakan ketentuan Giro Wajib Minimum Loan to Deposit Ratio (GWM/LDR) untuk meningkatkan kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit dan penghimpunan dana. BI juga akan menyempurnakan kebijakan GWM Sekunder.
BI juga akan melakukan langkah-langkah pengawasan bank untuk mengerem pertumbuhan kredit yang dinilai cukup tinggi untuk sektor tertentu, termasuk untuk sektor yang mempunyai kandungan impor tinggi.
Kebijakan ketiga, stabilisasi nilai tukar jangka panjang karena secara rata-rata, nilai tukar rupiah selama Juli 2013 terdepresiasi 1,95 persen secara month on month (mom). Sejauh ini, BI menilai depresiasi terjadi sesuai dengan fundamentalnya.
Kebijakan keempat, BI akan menyempurnakan sejumlah ketentuan untuk pengembangan pasar valas domestik sekaligus meningkatkan pasokan valas secara efektif, termasuk ketentuan pembelian valas terhadap dolar untuk bank, pinjaman derivatif, dan pinjaman luar negeri jangka pendek perbankan.
Bauran kebijakan tersebut diyakini memadai untuk mengarahkan inflasi 2014 sesuai dengan sasarannya, yakni 3,5-5,5 persen. BI juga meyakini bauran kebijakan itu bisa mendukung ekonomi domestik bergerak ke arah yang lebih sehat.
Analis dari Trust Securities, Reza Priyambada, menyambut pengumuman itu. “Itu berita gembira untuk sektor perbankan karena mereka tidak akan kembali menyesuaikan tingkat suku bunga kreditnya,” ujarnya.
Adapun tingginya inflasi saat ini lebih disebabkan karena persoalan riil di lapangan karena jumlah pasokan bahan pangan tidak mampu mengimbangi tingginya permintaan. Inflasi Juli yang melonjak menjadi 3,29 persen, menurut Reza, juga akibat terlambatnya respons pemerintah telat mengantisipasi tingginya kebutuhan pangan menjelang Ramadan dan Lebaran.
MARTHA THERTINA | PINGIT ARIA | ISMI DAMAYANTI