TEMPO.CO , Jakarta:Lebih dari delapan dekade silam, Soegondo Djojosoegito, Muhammad Yamin, Amir Sjarifudin, dan para pemuda yang berembuk dalam Kongres Pemuda II di Jakarta berhasil mendobrak perbedaan lewat gagasan satu tanah, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Tapi ada satu yang luput mereka rumuskan sebagai identitas negeri ini dalam teks Sumpah Pemuda: busana.
Entah, mungkin peserta kongres, yang berasal dari beragam daerah—sebagian besar sedang belajar di Jakarta—memang tak kepikiran.
Atau, boleh jadi mereka berpikir terlalu ribet menggagas satu busana yang bisa mewakili Indonesia dalam dua hari berkongres. Sebab, bahkan sebagian besar dari mereka memang mengenakan jas putih rapi berdasi.
Tentu, gagasan satu busana itu bukan karena ingin menghilangkan keberagaman. Idenya sama dengan ide satu bahasa. Meski memiliki banyak bahasa tradisional yang dibiarkan tumbuh, tetap ada satu bahasa pemersatu. Sukar menemukan jawaban pasti mengapa satu busana, busana Indonesia, tak tercetus kala itu.
Padahal sejarah mencatat betapa busana bukanlah perkara yang bisa dianggap sepele. Para pendiri bangsa ini menjadikan pakaian sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, yang mendiskriminasi pribumi dalam struktur kelas.
Pada masa peralihan ke abad ke-20, masuknya busana modern memang memancing pertentangan di antara tokoh pergerakan. Penggunaan pakaian modern dianggap sebagai ketundukan kepada Belanda.
Sebagian tokoh muslim juga menabukan pria meninggalkan sarung, dan bercelana. Rudolf Mrazek mengatakan dalam buku Outward Appearances: Trend, Identitas dan Kepentingan, “Rakyat (Hindia Belanda) berjuang untuk menemukan pakaian-pakaian yang dapat mereka gunakan sebagai pernyataan tentang era modern.” (Selengkapnya baca di sini)
AGOENG WIJAYA