TEMPO.CO , Jakarta:Tidak adanya satu identitas busana nasional membuat para tokoh perjuangan Indonesia berusaha mengenakan busana yang sesuai dengan identitas nasional.
Setiap orang lalu bereksperimen dengan gaya masing-masing. Pelopor pergerakan dan guru dari banyak pemimpin besar negeri ini, H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam, misalnya. Terlahir dari keluarga elite Jawa, Tjokroaminoto memadukan beskap yang hanya boleh dipakai kaum bangsawan dengan sarung yang identik dengan santri. Ia juga kerap memakai jas dan blangkon.
Sukarno, menantunya, lain lagi. Ia selalu tampil mengenakan kemeja dan jas putih. Setelannya memang seperti hanya meneruskan busana yang mengadopsi gaya Eropa pada awal 1900-an.
Tapi, alih-alih sekadar menjiplak, jasnya memiliki dua saku di bagian dada ala pemuda kepanduan atau militer sebagai simbol perjuangan. Untuk memasukkan unsur keindonesiaannya, Sukarno memakai peci. Dia tampak sadar untuk menetapkan standar berpakaian modern tanpa meninggalkan kemajemukan Indonesia.
Sementara para pejuang kemerdekaan, seperti Sukarno, Mohamad Hatta, dan Agus Salim, memakai setelan modern yang kadang dimodifikasi dan diberi peci agar terlihat Indonesia, hal yang lebih rumit terjadi pada busana wanita.
Berbeda dengan para pria pribumi yang sudah terbiasa memakai jas Barat di acara resmi, perempuan Indonesia saat itu jarang yang memakai busana resmi Barat. Busana modern memang sudah mulai dipakai, tapi hanya dalam kesempatan yang kurang resmi. Di acara formal, perempuan Indonesia memakai busana tradisional yang beragam.
AGOENG WIJAYA|JULI
Topik Terhangat:
Suap SKK Migas| Penembakan Polis| Sisca Yofie |Konvensi Partai Demokrat| Rusuh Mesir
Berita Terpopuler:
Ada 4 Polisi, Kenapa Bripka Maulana yang Ditembak?
Pengemudi Honda Jazz di Depok Masih Bungkam
BPK Temukan Cost Recovery Ilegal Rp 2,25 Triliun
Begini Cara Penembak Polisi Rampas Motor Satpam
Ini Ciri Penembak Polisi di Pondok Aren