TEMPO.CO, Medan - Bel sekolah berbunyi, tanda istirahat para siswa sudah tiba. Sekejap, lapangan basket, kantin, dan tempat-tempat bermain sesak. Siswa berhamburan dari kelas mereka.
Pada sebuah sudut yang tak riuh, tiga bocah sekolah dasar berambut cepak rapi saling toyor sembari terpingkal-pingkal. Satu bocah Melayu, Tionghoa, dan India Tamil tampak hanyut dalam canda. “Mereka sudah lupa kalau berbeda, saling baur tanpa bertanya kenapa matamu sipit atau kenapa kulitmu keling,” kata Sofyan yang menemani Tempo berkeliling sekolah, Juli 2013 lalu.
Sofyan lantas membawa Tempo melongok ke halaman belakang sekolahnya. Di tanah lapang seluas hampir 300 meter persegi, berdiri tiga buah rumah ibadah dan satu pendopo. Masing-masing ada masjid, gereja, vihara, dan pendopo yang kerap dipakai upacara para siswa yang beragama Hindu.
“Kami biasakan siswa melihat keberagaman ini, bahkan bagi yang bersedia, tak jarang mereka saling membersihkan tempat ibadah agama yang berbeda. Agar mereka paham bagaimana rasanya hidup berdampingan,” kata Sofyan.
Tahun ini Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda genap berusia 25 tahun. Sejak diinisiasi pada 1987, kemudian beroperasi pada Agustus 1988, perguruan ini terus berkembang. Murid yang awalnya hanya tercatat 171 orang, dari tahun ke tahun jumlahnya terus membengkak.
Kini sekolah yang awalnya hanya berupa gubuk itu sudah mentereng dengan ruang-ruang kelas yang menjulang setinggi empat lantai. Sekolah ini sudah meluluskan hampir 3.000 orang. Istimewanya, hampir lebih dari separuh lulusan itu memperoleh pendidikan secara cuma-cuma. Sekolah ini memiliki banyak orang tua asuh.
“Sistem pengasuhan di sini menganut asas pembauran. Kami selalu melakukan persilangan, di mana donatur Tionghoa akan membiayai siswa dari etnis Melayu, Tamil, atau Batak, tak ada yang diistimewakan,” kata dia.
Keberagaman, toleransi, serta cinta kasih merupakan nilai pelajaran yang ditonjolkan di sekolah yang kini tak bisa lagi disebut sederhana ini. Nilai-nilai itu kini terlembaga dalam sebuah kurikulum baku yang tak ditemui di sekolah umum lain.
“Kurikulum kami sebenarnya biasa, hanya setiap pengajar di sekolah ini wajib menyelipkan cerita-cerita soal pentingnya menjadi saling berbeda dan berusaha menghormati perbedaan itu,” kata Sofyan dengan nada yang rendah hati.
SANDY INDRA PRATAMA
Berita Terpopuler:
5 Teknologi yang Mengancam Manusia
Ini Kronologi Aksi Gadis Pemotong 'Burung'
Sidang Kasus Cebongan, Hakim dan Oditur Ketakutan
Mantan Napi Ungkap Kengerian Penjara Korea Utara
Beragam Penyebab Rupiah Terjun Bebas