TEMPO.CO , Jakarta:Lian Gogali, 35 tahun, berdiskusi dengan belasan perempuan murid Sekolah Mosintuwu, yang didirikannya pada 2009. Sebagian murid berkerudung, lainnya hanya berkaus. Sebagian muslim, lainnya nasrani. Berkali-kali tawa mereka memecah keheningan pantai yang menjadi tempat sopir angkot bernama Imbo tewas tertembak pada 2004, itu. Di hamparan pasir putih Pantai Imbo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Perempuan yang kaki kanannya pincang akibat kecelakaan itu membicarakan soal rencana mengembangkan tanaman cokelat. Mimpinya adalah, Kabupaten Poso bisa memproduksi cokelat sendiri. “Kita punya kebun cokelat luas dari Poso Kota hingga Pamona,” katanya. Gagasan Lian disambut dengan antusias oleh para ibu. Mereka pun bertanya dari mana mendapatkan modal dan cara mengolah cokelat.
Baca Juga:
Itulah di antara kegiatan Sekolah Perempuan Mosintuwu, yang dirintis Lian. Mosintuwu dalam bahasa Pamona, nama kecamatan di Poso, berarti kebersamaan. Kepincangan tak menghalanginya mewujudkan impian memulihkan kembali hubungan Muslim-Kristen yang retak di Poso.
Betis kanan Lian Gogali masih dipenuhi luka yang mengering. Guratan bekas pisau operasi melintang dari tumit hingga lutut, efek dari tragedi April empat tahun lalu. Waktu itu, sepeda motor yang dia kendarai diseruduk mobil dari arah belakang.
Sang sopir bukannya berhenti menolong, melainkan memilih kabur. Kakinya nyaris putus akibat tabrak lari itu di kawasan Pamona, Poso. “Seharusnya kaki saya diamputasi. Cuma Tuhan dan saya yang tidak mau amputasi,” kata Lian disertai tawa.
Berkali-kali operasi Lian jalani untuk memulihkan kakinya. Selama tiga tahun ia terpaksa menggunakan dua kruk. Setahun terakhir, Lian mulai bisa berjalan dengan satu penyangga. Terkadang dia melepas tongkat, yang membuatnya berjalan dengan tertatih. Walau didera kekurangan, Lian tak menyerah menggerakkan roda Sekolah Perempuan Mosintuwu.
Perjuangannya berbuah manis. Keuletan Lian mendapat pengakuan dari Yayasan Coexist asal Amerika Serikat. Dia mendapat penghargaan untuk pengembangan dialog serta perdamaian antaragama dan keyakinan. Juga, pengakuan dari para tokoh Muslim di Poso.
STEFANUS TEGUH EDI PRAMONO