TEMPO.CO, Surabaya-Lingkaran Survei Indonesia memperkirakan jumlah massa mengambang pada Pemilu kepala daerah Jawa Timur bisa mencapai 47,6 persen. “Jumlah pemilih yang ragu-ragu atau belum memutuskan pilihan masih tinggi,” kata Direktur Riset Lingkaran Survei Indonesia Arman Salam, Minggu, 25 Agustus 2013.
Hal ini diketahui dari hasil survei terhadap 440 responden di Jawa Timur melalui metode multistage random sampling pada 13-19 Agustus 2013. Diakui Arman, angka itu cukup wajar. Mereka masih menimbang-nimbang pilihan. Meski demikian, kejenuhan publik atas kegiatan kampanye maupun Pemilu juga berpengaruh terhadap partisipasi pemilih.
Menurut Arman, pemilih golput dalam Pemilu biasanya terkait dengan 3 hal. Yaitu faktor administrasi karena mereka belum terdaftar, faktor ekonomi karena tidak bisa meninggalkan pekerjaan saat pencoblosan dan faktor politik karena merasa tidak ada kandidat yang tepat untuk dipilih.
Massa mengambang inilah yang harus diperebutkan keempat pasangan calon jika mereka ingin memenangkan Pemilu gubernur Jawa Timur. Hasil survei LSI menunjukkan kekuatan pemilih militan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf di kisaran 39,1 persen, disusul dengan Khofifah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja 9,7 persen, Bambang Dwi Hartono-Said Abdullah 2,9 persen dan Eggi Sudjana-M Sihat 0,7 persen.
Sebagai pasangan inkumben, KarSa harus mewaspadai blunder politik agar posisinya aman. Arman menjelaskan blunder politik yang dimaksud terkait kebijakan berupa pernyataan, tingkah laku ataupun sikap yang bisa menuai kontroversi dan tidak populer.
Selain itu, semua pasangan calon harus bisa memaksimalkan pemilihnya untuk datang ke tempat pemungutan suara agar tidak kehilangan suara pada hari pencoblosan. Sehingga massa mengambang tidak berakhir golput. Sebab, ada calon yang memiliki banyak pemilih ketika survei tapi ternyata tidak datang ke TPS untuk mencoblos. "Semua pasangan calon harus bisa memaksimalkan pemilihnya untuk datang ke TPS."
Arman juga menyebutkan tingkat pragmatis masyarakat Jawa Timur sangat tinggi. Hal ini diketahui dari hasil survei yang menyatakan 40 persen lebih responden menganggap politik uang dalam pemilihan gubernur merupakan hal yang wajar. Bahkan, 64 persen responden menilai politik uang berpengaruh dalam kemenangan pasangan calon kepala daerah. "Jadi, mereka ambil uangnya dan juga nyoblos orangnya," katanya.
Survei juga menyebutkan bahwa responden yakin adanya politik uang di daerahnya menjelang pencoblosan. Bahkan ada 28,5 persen masyarakat yang baru menentukan calon dipilih pada hari H pemilihan. Ini bisa mengindikasikan sebagian masyarakat yang menunggu serangan fajar. Menurut Arman, faktor kebutuhan ekonomi masih menjadi alasan masyarakat mengharapkan politik uang.
Berharapnya masyarakat diberi uang oleh pasangan calon kepala daerah diakui oleh Eggi Sudjana. Calon gubernur dari jalur perseorangan ini mengatakan masih ada masyarakat yang mendewakan uang. "Setiap saya turun ke daerah, rakyat selalu minta uang. Ini bukti pendidikan politik tidak berhasil."
AGITA SUKMA LISTYANTI