TEMPO.CO, Kairo – Jam malam yang berlaku di Mesir tidak menghalangi banyak pasangan untuk menikah. Hanya, mereka harus menyiasati peraturan yang diberlakukan untuk mencegah aksi aktivis pro-Presiden Muhammad Mursi yang terguling 3 Juli lalu itu.
Di tengah lalu lintas Kairo yang menyesakkan pada siang hari, tampak iring-iringan pengantin yang terdiri atas sebuah sedan kecil, truk bak terbuka yang penuh gadis-gadis penggembira, dan serombongan remaja mengendarai sepeda motor yang membunyikan klakson sepanjang jalan. Pemandangan itu langka ditemukan pada siang hari di kota yang pernah dikenal tak pernah tidur ini sebelum jam malam berlaku mulai pukul 19-6 pagi beberapa waktu lalu.
“Orang waras mana yang menggelar pesta pernikahan di tengah terik matahari begini?” kata ayah mertua kepada menantunya, Karim, sambil menunggu di luar sebuah salon penata rambut, di sebelah sedan Mercedes berhiaskan bunga.
“Fotografer tutup pukul 4 karena jam malam, kita akan terlambat,” kata Karim, 28 tahun, sambil berkali-kali melihat ke arah jam tangannya.
Mesir dicekam kekerasan sejak Rabu, 14 Agustus 2013, ketika pasukan keamanan membubarkan paksa dua aksi duduk pro-Mursi di Alun-alun Rabaa al-Adawiya, Kairo, dan Alun-alun Nahda, Giza. Ratusan orang tewas. Demonstran melanjutkan aksi protes hari Jumat di beberapa kota di seluruh Mesir, mengecam kebrutalan pembubaran massa.
Pemerintah yang didukung militer segera memerintahkan jam malam untuk meredam aksi protes.
Eman, calon pengantin perempuan berusia 24 tahun, khawatir bentrokan terjadi lagi sebelum hari pernikahannya. “Kekerasan bisa pecah kapan saja,” katanya, menjelang hari pernikahan. “Saya sangat khawatir ketika kekerasan kemarin terjadi, tetapi terlambat membatalkan semua rencana yang sudah dibuat.”
Seorang sahabatnya yang tinggal di Dubai terpaksa batal hadir di pernikahan Eman. Tunangan Eman sendiri mengajaknya untuk menunda pernikahan sampai situasinya lebih aman, sambil tetap melangsungkan bulan madu. “Saya tidak mau. Ini hari besar saya,” kata Eman.
Pengelola aula pernikahan mengaku 60 persen kliennya mengubah jam acara menjadi pagi hari. “Sebelumnya, kami juga menerima pernikahan di pagi hari, tetapi tidak sebanyak setelah jam malam berlaku,” kata Kariman Maher, pengelola aula di Nile, Giza.
Masyarakat Mesir biasa merayakan pernikahan pada sore hari dan begadang hingga pagi harinya. Meski demikian, sejak kerusuhan yang mengguncang Mesir tahun 2011, tidak ada pembatalan pernikahan. “Banyak pasangan tidak menunda pernikahan karena rencana bulan madu sudah disiapkan jauh-jauh hari.”
Hari Jumat, jam baru menunjukkan pukul 5 sore, tetapi Menna, 25 tahun, sudah pulang dari acara pernikahan sahabatnya. Dia mengaku khawatir akan keselamatannya. “Banyak hal bisa terjadi saat ini. Saya juga datang karena dia sahabat dekat,” kata Menna. Banyak temannya yang tidak datang karena tidak diizinkan para orang tua mereka ke luar rumah.
ANATOLIA | NATALIA SANTI