TEMPO.CO, Kupang - Sedikitnya 200 hektare lahan persawahan di Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengalami kekeringan karena minimnya pasokan air setelah memasuki musim kemarau.
"Kami biasanya memanfaatkan air cadangan dari bendungan tadah hujan, namun bendungan juga kering, sehingga padi kami juga kering," kata seorang petani, Semi Mahuri, di Kupang, Senin, 26 Agustus 2013.
Dia mengaku petani salah menghitung musim tanam kedua tahun 2013, sehingga berdampak pada kekurangan air yang menyebabkan padi mengalami kekeringan. "Kami perkirakan musim hujan akan lebih awal yakni Agustus 2013, namun ternyata meleset," katanya.
Pemilik 60 are lahan persawahan di Desa Oesao itu mengakui persawahan petani masih bergantung pada curah hujan. "Jika tidak turun hujan, padi kami pasti kering," katanya.
Karena ancaman kekeringan ini, menurut dia, petani akan beralih untuk budidaya tanaman holtikultura, seperti jagung, kacang-kacangan, dan sayuran, karena masih bisa didukung dengan sumur bor. "Ada juga yang beralih berjualan kue, seperti yang saya lakukan saat ini," katanya.
Dia berharap pemerintah daerah membangun bendungan permanen yang menjadi sumber air baku untuk irigasi pertanian di daerah ini. "Dengan begitu, masalah kekeringan yang sering dialami petani bisa teratasi," katanya.
Humas Pemerintah Kabupaten Kupang, Stef Baha, mengatakan untuk mengatasi masalah kekeringan itu, pemerintah daerah telah mengusulkan ke pemerintah pusat untuk membangun bendungan permanen di daerah tersebut. "Pemerintah pusat sudah melakukan pengukuran untuk bangun bendungan itu," katanya.
Untuk tanggap darurat, katanya, pemerintah telah membangun sumur bor dan mesin pompa air untuk mengatasi masalah kekeringan yang melanda daerah tersebut. "Sumur bor sudah dibangun, dan mesin pompa air juga sudah dibagikan ke sejumlah petani," katanya.
YOHANES SEO