TEMPO.CO, Makassar - Langit biru menghiasi pagi. Pancaran cahaya matahari rasanya lebih terang di Kota Bau-bau, Sulawesi Tenggara, awal Agustus lalu. Saya memilih membuka kaca mobil saat berkeliling kota. Kendaraan di kota ini belum padat sehingga udara masih cukup segar. Karena terlalu pagi, kami arahkan langkah ke Kabupaten Buton. Suguhan panorama alam hijau sepanjang perjalanan sungguh memanjakan mata. Daerah ini betul-betul asyik untuk ditempati.
Di Buton, kami sempat singgah ke kantor Bupati Buton yang megah dan luas. Akan tetapi, kantor ini sepi jika dibandingkan dengan kantor-kantor pemerintah di Makassar. Kami pun cukup leluasa berfoto. Setelah mengambil beberapa frame, kami pun bergegas kembali ke Bau-bau agar bisa ikut salat Jumat di Masjid Agung Wolio yang berada di kompleks Keraton Kesultanan Buton.
Masjid Agung Wolio ini juga dikenal dengan nama Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu’min. Dibangun pada 1712 oleh Sultan Sakiuddin Durul Alam Kesultanan Buton. Masjid berusia 300 tahun ini merupakan lambang kejayaan Islam pada masa itu.
Masjid ini sedikit berbeda dengan masjid umumnya. Masjid Agung Keraton Buton ini tak memiliki menara. Namun, saya tertarik dengan tiang tinggi di sisi bangunan, tepatnya di sebelah utara. Mirip tiang bendera, dulu setiap Jumat dipasang bendera kerajaan berwarna kuning, merah, putih, dan hitam. Konon tiang ini juga difungsikan sebagai tempat hukuman gantung berdasarkan syariat Islam.
Meski tak memiliki mesin penyejuk ruangan, udara di dalam masjid sangat sejuk. Mungkin karena memiliki banyak pintu, yakni 12 buah.
Angin bertiup sangat ramah siang itu. Meski matahari bersinar terik, panasnya tak begitu terasa. Sambil menunggu teman yang sedang salat Jumat, saya memilih berkeliling Benteng Keraton Buton.
Benteng yang dibangun pada abad ke-16 ini berbentuk lingkaran dengan panjang keliling 2,7 kilometer. Benteng yang dibangun oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596) ini adalah salah satu obyek wisata bersejarah yang wajib dikunjungi jika ke Bau-bau.
Bangunan benteng yang terbuat dari batu kapur gunung ini tersusun sangat rapi. Awalnya batu-batu ini hanya ditumpuk mengelilingi benteng, yang difungsikan sebagai pagar pembatas antara kompleks istana dan perkampungan masyarakat. Tumpukan batu ini kemudian dijadikan bangunan permanen pada masa pemerintahan La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin, Sultan Buton IV. Hingga saat ini, benteng itu masih berdiri kokoh.
Benteng ini punya 12 pintu gerbang yang disebut lawa—setiap nama pintu sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda, ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo yang di atasnya berfungsi sebagai menara pengamat. Dari tempat ini, pemandangan Kota Bau-bau begitu rapi dan bersih.
Nah, di benteng ini, kita juga masih bisa menemukan meriam yang disebut badili. Meriam ada yang di atas dan ada juga yang tertanam di dalam bebatuan.
Sangat asyik berkeliling benteng. Dari sini saya bisa menikmati pemandangan Kota Bau-bau hingga Laut Banda. Sesekali saya singgah untuk mengambil gambar panorama.
Dari benteng ini, saya juga mengabadikan Pulau Makassar. Dari cerita kawan saya, pulau berbentuk lingkaran itu dinamakan Makassar. Karena pulau tersebut, konon adalah tempat pasukan Sultan Hasanuddin bermukim, mereka tak berani pulang ke Gowa karena gagal menemukan Arung Palakka.
Rasanya belum puas menelusuri jejak sejarah di kota ini. Karena tengah berpuasa, saya urung melihat gua tempat persembunyian Arung Palakka. Di Buton, Arung Palakka dikenal dengan nama Latoondu, yang berarti 'sang penakluk'. Gua tempat persembunyian Raja Bone ini dinamai Liana Latoondu—'guanya Arung Palakka'.
Buton adalah pulau yang moncer karena produksi aspalnya. Kepala Perusahaan Daerah Buton, Sjamsul Qamar, mengatakan potensinya mencapai 70 ribu hektare dan saat ini yang diolah baru sekitar 400 hektare.
Sehari sebelumnya, saya sempat jalan-jalan ke area hutan Nambo, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, untuk melihat hewan-hewan endemiknya. Di sana ditemukan lahan-lahan hutan lindung itu dikaveling beberapa perusahaan sebagai miliknya untuk kemudian diambil aspalnya.
Di tengah hutan belantara itu, kami sempat bertemu dengan beberapa mahasiswa asal Inggris dan Prancis. Mereka sedang melakukan pengamatan terhadap kuskus beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) dan kuskus beruang talaud (Ailurops melanotis). Kedua jenis ini adalah hewan khas endemik daratan Sulawesi. Dua ekor kuskus tampak asyik bermain di antara dahan-dahan pohon yang sudah dekat dengan pucuk.
IRMAWATI
Terhangat:
Lurah Lenteng Agung | Pilkada Jatim | Konvensi Partai Demokrat
Berita Populer
Dipimpin Lurah Susan, Warga Lenteng Tak Ambil Pusing
8 dari 10 Analis Jagokan Jokowi Jadi Presiden
Foto Mesra, Bella dan Sang Jenderal Beredar Luas
Bella Saphira-Agus Surya Bakti Nikah Jumat Besok
Mahfud Md. Tolak Ikut Konvensi Demokrat