TEMPO.CO, Jakarta - Nama Maharditya Maulana tiba-tiba melesat sebagai perancang busana Indonesia masa kini. Padahal kariernya di industri mode baru ia tekuni selama dua tahun. Tapi rentetan kepercayaan dari dalam dan luar negeri yang diberikan kepadanya belakangan ini telah menempatkan Didiet--begitu ia biasa disapa--di deretan perancang muda paling berpotensi saat ini.
Hingga awal tahun lalu, Didiet masih duduk nyaman sebagai manajer komunikasi pemasaran di jaringan retail distributor merek mode kelas premium, seperti Givenchy, Guess, Celine, dan Raoul. Tapi kini, setelah memutuskan terjun langsung sebagai desainer dan mendirikan rumah mode Ikat Indonesia pada 2012, ia telah menapaki jalan yang pernah dilalui nama-nama beken di industri mode dunia.
Juni lalu, misalnya, Mattel Inc menggandengnya untuk mendandani boneka Barbie dengan gaun supermini berbahan tenun sengkang Makassar dan blongsong Palembang. Dulu, kesempatan yang sama dari perusahaan mainan asal Amerika Serikat itu juga tak disia-siakan oleh desainer ternama dunia, seperti Karl Lagerfeld, Christian Dior, dan Armani.
Lantas, kini, busana dari kain ikat Bali rancangan Didiet juga akan membalut para menteri keuangan dari 21 negara yang akan bertemu dalam forum Kerja Sama Ekonomi se-Asia Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali, pertengahan September mendatang. Menurut Didiet, kesempatan untuk mengulang prestasi Iwan Tirta--yang membuat kemeja batik khusus untuk seluruh kepala negara peserta konferensi APEC 1994--itu bukan hanya untuk dirinya. “Undangan ini juga untuk kain tenun ikat Indonesia agar mendunia,” katanya kepada Tempo, Kamis, 30 Agustus 2013.
"Saya lahir dari keluarga yang mengagumi kain etnik. Nenek saya, misalnya, seorang kolektor batik. Sejak kecil, saya diajak ikut acara pesta. Dari sana, saya melihat kain etnik sangat banyak. Ketika beberapa tahun lalu batik diakui oleh UNESCO, saya berpikir seharusnya hal yang sama bisa dilakukan terhadap kain ikat. Sejak saat itu, saya memutuskan terjun langsung," kata perancang kelahiran Jakarta, 18 Januari 1981 ini.
Mengapa Didiet memilih tenun ikat, hal itu didasari dirinya sebagai lulusan arsitektur, saya sangat menyenangi skala dan struktur. Keduanya ada di kain tenun ikat. Lebih dua tahun saya melakukan riset dan saya semakin yakin tenun ikat juga bisa mendunia.
Dia mendapat tenun ikat yang digunakan melalui bekerja sama dengan banyak perajin. Baginya, perajin, adalah seniman. Mereka ada di Jepara, Sumba, Bali, Makassar, dan Palembang.
"Saya tidak layak kalau disebut membina, karena mereka lebih ahli dan bertahun-tahun hidup dengan tenun ikat. Yang saya lakukan hanya menularkan selera pasar dan manajemen. Jadi, tak ada motif atau struktur yang berubah, hanya skala, warna, dan ketepatan waktu produksi. Ini semua penting karena permintaan terhadap tenun ikat saat ini sedang tinggi-tingginya.
Menurutnya budaya adalah sesuatu yang tak berhenti, tapi terus berjalan. Dan sekarang adalah proses kain etnik beradaptasi dengan zaman. Dahulu, kain-kain etnik dibuat dengan beragam ritual, tak diperdagangkan, karena Indonesia masih menjadi bumi yang bisa mencukupi segala kebutuhan perajin. Sekarang? Saya tak bermaksud meninggalkan tradisi. Industrialisasi justru melestarikan kain-kain etnik.
Dia mencontohkan tenun ikat Bali selama ini dikenal berbahan tebal, berat. Tapi, belakangan ini, para perajin mulai membuatnya dengan bahan kapas yang lebih ringan, agar bisa dikenakan dalam banyak suasana. Tanpa itu, kain Nusantara hanya berakhir di pesta-pesta, dan penggunanya sekelompok orang. Akhirnya, tak ada anak muda yang mau meneruskan tradisi menenun.
"Itu sebabnya, meski ikut gembira batik dan tenun kini booming, saya berdoa agar perancang lain tak sekadar melihat kain etnik Nusantara sebagai komoditas, melainkan harga diri bangsa ini," kata Didiet.
AGOENG WIJAYA
Berita Terpopuler:
Sengman Pernah Hadir ke Wisuda Anak SBY?
Menteri Agama Ngambek Pidatonya Terpotong Azan
Relokasi Blok G Cepat, Jokowi Tungguin Tukang Cat
Disebut Terkait Impor Sapi, Dipo Alam Berkelit
Perwira Polwan Yakin Briptu Rani Hanya Oknum