TEMPO.CO, Surakarta - Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada batik baru dimanfaatkan oleh sedikit pengusaha atau pengrajin batik. Selain karena proses pengurusan SNI yang cukup panjang, penerapan standardisasi terhadap batik juga masih bersifat sukarela.
Kepala Seksi Standardisasi Balai Besar Kerajinan dan Batik Kementerian Perindustrian Joni Setiawan mengatakan hingga saat ini baru ada 28 SNI untuk batik. "Kebanyakan untuk kain batik. Lalu ada SNI tentang batik itu sendiri, parafin atau malam untuk membatik, dan damar," katanya saat diskusi batik di Universitas Islam Batik Surakarta, Selasa, 3 September 2013.
Dia mengakui ada proses yang panjang untuk pengajuan SNI. Untuk karya batik, banyak tahap yang harus dilalui, mulai proses usulan ke Balai Besar Batik, diteruskan ke Pusat Standardisasi, Badan Standardisasi, hingga dibahas di tim khusus. "Prosesnya bisa setahun lebih," ujarnya.
Namun ada manfaat yang didapat pengusaha batik dengan memiliki SNI batik. Contohnya untuk membendung produk sejenis dari luar negeri dan meningkatkan daya saing di era perdagangan bebas.
Di kesempatan yang sama Kepala Seksi Sertifikasi Balai Besar Kerajinan dan Batik Kementerian Perindustrian Lies Susilaning Sri Hastuti mengatakan untuk batik ada kebijakan khusus selain SNI yang bisa dimanfaatkan oleh pengusaha batik. Yaitu dengan penerapan Batikmark sebagai identitas dan ciri batik buatan Indonesia. "Batikmark menyatakan ada tiga jenis batik Indonesia yaitu batik tulis, batik cap, dan batik kombinasi," katanya.
Batikmark bertujuan memberikan jaminan mutu batik Indonesia, menciptakan identitas batik, meningkatkan kepercayaan konsumen, dan sarana promosi di pasar internasional.
Dia mengatakan perusahaan batik yang berhak mengajukan labelisasi Batikmark harus memiliki merk terdaftar. Selain itu produknya harus memenuhi standar SNI tentang ukuran kain, sifat mengkerut, tahan gosok warna, dan tahan luntur warna terhadap pencucian. Adapun ciri-cirinya juga harus ditentukan antara batik tulis, batik cap, atau batik kombinasi dengan acuan SNI. "Biaya labelisasi hanya Rp 1,7 juta. Lebih murah dari SNI yang mencapai Rp 10 juta," katanya.
Label Batikmark berlaku tiga tahun dan pemilik label wajib melapor secara berkala, yakni setiap terjual 100 lembar untuk batik tulis dan cap serta 150 lembar untuk batik kombinasi.
Pemilik Mahkota Batik Laweyan Alpha Febela Priyatmono mengaku telah mengantongi SNI untuk dua kain, salah satunya kain batik cap kombinasi tulis mori prima. "Saya mengurus sejak awal Januari 2011 dan baru keluar SNI pada akhir Juni 2012," katanya.
Dia menilai SNI penting karena ada negara yang menerapkan standar secara ketat seperti Jepang. "Kalau pasar ASEAN belum begitu ketat," ujarnya. Dengan SNI, dia lebih percaya diri ketika masuk ke pasaran internasional.
UKKY PRIMARTANTYO
Berita Terpopuler:
3 Istri Djoko Susilo Bergelimang Harta
Ini Cara Fathanah Cuci Uangnya
Inilah Alasan Ozil Pindah ke Arsenal
Manchester United Dapatkan Fellaini dan Coentrao
Petinggi Polri Diduga Kecipratan Uang Labora