TEMPO.CO, Sleman - Para perajin tempe dan tahu di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluhkan kenaikan harga kedelai yang sudah mencapai Rp 9.500 per kilogram. Mereka meminta pemerintah memberikan subsidi seperti saat zaman Presiden Soeharto.
"Para perajin tempe dan tahu pada zaman Soeharto dapat subsidi, setelah 1998 subsidi dihentikan," kata Ketua Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) DIY Muryanto, Selasa, 4 September 2013.
Bahkan, jumlah para perajin tempe dan tahu di Daerah Istimewa Yogyakarta berkurang drastis semenjak tahun 2000, dari sekitar 800 perajin. Setelah ada pendataan lagi, jumlah perajin tempe dan tahu hanya sekitar 500 perajin. Saat harga kedelai mahal, sebagian menghentikan produksi dan sebagian banyak mengurangi jumlah produksi dan mengurangi ukuran tempe dan tahu.
Dia menambahkan, para perajin berencana mogok produksi pada 9-11 September mendatang. Akan tetapi, banyak juga produsen tempe dan tahu tidak mau mogok produksi. Sebab, jika mereka tidak berproduksi, maka tidak akan mendapatkan pendapatan harian. Juga para pekerja tidak mendapatkan gaji karena mayoritas mereka dibayar harian.
Kenaikan harga kedelai terjadi sejak sebulan lalu. Dari harga Rp 7.500 per kilogram kini menjadi Rp 9.500. Itu sangat memberatkan para perajin tempe dan tahu. Kebutuhan kedelai di Daerah Istimewa Yogyakarta per bulan mencapai 2.600 ton. Hasil kedelai dari Gunungkidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman (lokal) tidak bisa mencukupi. Kebutuhan kedelai impor itu mencapai 95 persen dari kebutuhan per bulannya. "Kalau kedelai lokal sebenarnya bisa, tetapi tidak bisa mencukupi," kata dia.
Hani Wicaksono, salah satu perajin tempe di Jalan Palagan kilometer 10, menyatakan pihaknya terpaksa mengurangi ukuran tempe hingga 20 persen dari ukuran semula. Namun, harganya tetap sama per kotak tempe Rp 2.000. "Kalau ikut mogok produksi, pegawai saya yang jumlahnya 10 orang menganggur. Terpaksa karena harga kedelai naik, ukurannya kami kurangi," kata dia.
MUH SYAIFULLAH (SLEMAN)
Berita Terkait