TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan mengkritisi rencana mogok produksi pengrajin tahu dan tempe. Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Syarkawi Rauf, menilai aksi mogok yang dibarengi dengan penetapan kenaikan harga tahu dan tempe merupakan praktek kartel.
"Seharusnya asosiasi pengrajin tidak boleh menetapkan harga begitu saja," ujarnya, Sabtu, 7 September 2013. " Penetapan harga yang disepakati bersama-sama anggota asosiasi ini sama saja seperti kartel."
Pada Senin, 9 September 2013, hingga Rabu, 11 September, nanti, pengrajin tahu dan tempe yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Pengrajin Tahu dan Tempe Indonesia (Gakoptindo) akan berhenti berproduksi.
Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes atas minimnya pasokan kedelai, sehingga harga menjadi mahal. Selain memprotes tingginya harga kedelai, aksi ini dimanfaatkan pengrajin untuk menetapkan kenaikan harga tempe dan tahu. Rencananya mereka akan menaikkan harga jual bahan pangan berbahan kedelai ini sebesar 25 persen.
Adapun Wakil Ketua Komisi Pangan DPR Firman Subagyo meminta Gakoptindo tida melakukan aksi mogok secara berlebihan. "Jangan seperti tahun lalu, mogok produksi dan membuang-buang kedelai," ujarnya. Aksi semacam itu justru akan menimbulkan kepanikan. "Kesannya besok mau kiamat, masyarakat ikut panik dan pemerintah buru-buru mengeluarkan kebijakan yang justru tidak tepat."
Firman berkaca pada aksi mogok pengrajin tahu dan tempe pada 2012 silam. Saat itu terjadi kenaikan harga kedelai dari Rp 5000-Rp 6000 menjadi Rp 8000-Rp 8.500. Para pengrajin mogok berproduksi dan melakukan demonstrasi dengan menghancurkan stok kedelai yang mereka punya. Akibat aksi ini, pemerintah langsung membuat kebijakan penghapusan bea impor kedelai hanya dalam waktu semalam. "Kebijakan yang dibuat karena panik itu akhirnya hanya menguntungkan importir."
Ketua II Gakoptindo Sutaryo membantah aksi mogok dan penetapan kenaikan harga oleh para pengrajin sebagai aksi kartel. "Kartel kecil-kecilan kali," kata dia berseloroh. Meski bentuknya mirip, yakni menetapkan harga berdasarkan kesepakatan, dia menjelaskan, langkah ini dilakukan demi nasib para pengrajin. "Ya gimana lagi, biaya produksi tinggi, tapi harga jual tahu dan tempe murah, kami akan rugi."
Lagipula tujuan kenaikan harga ini murni untuk menyesuaikan harga kedelai yang tinggi. "Bukan semata-mata untuk keuntungan kami." Sebaliknya, kata dia, jika kesepakatan menaikkan harga dimaksudkan agar pengrajin mendapat keuntungan lebih besar sehingga memberatkan konsumen, itu bisa dianggap praktek kartel.
PRAGA UTAMA
Berita Terpopuler
Survei Capres 2014, Jokowi Tak Selalu Juara
Megawati Anggap Jokowi Penerus Soekarno
Tak Hanya @benhan, Ini 'Korban' UU ITE
Pengamat: PDIP Tak Berani Capreskan Jokowi
Dukungan Pencapresan Jokowi Mengalir dari Amerika