TEMPO.CO, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) meminta pemerintah meninjau kembali ketentuan tarif batas atas. "Dengan harga avtur dan nilai dolar Amerika Serikat yang naik, mengkhawatirkan kalau batas atas tidak ditinjau," kata Direktur Operasi Garuda Indonesia, Novianto Herupratomo, saat dijumpai di Kementerian Perhubungan, Selasa, 17 September 2013.
Ia menjelaskan, sebagian besar maskapai Indonesia memiliki pendapatan dalam bentuk mata uang rupiah. Sementara itu, pengeluaran dan belanja dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Meski pertimbangan tiap maskapai berbeda, namun ia mengatakan, situasi bisnis antarmaskapai di Indonesia sama.
Di sisi lain, harga penjualan tiket di dalam negeri dibatasi dengan tarif batas atas yang ditetapkan pemerintah. Novianto mengatakan, kenaikan harga avtur yang saat ini mencapai US$ 110 per barel, akhirnya dibebankan kepada konsumen. Sementara daya serap konsumen dengan kenaikan harga avtur tersebut 80 persen. "Lebih dari itu, mereka membatalkan kepergian," ucapnya.
Novianto berpendapat, beban 20 persen yang harus diserap maskapai tersebut cukup berat. Menurut dia, margin bisnis penerbangan terbilang kecil. Selain itu, maskapai menghadapi masalah, yaitu fuel surcharge dan tarif batas atas. Gabungan dua hal tersebut mengkhawatirkan keberlanjutan bisnis maskapai. "Sebenarnya harga dilepas saja ke pasar. Toh masyarakat akan mengerti. Kalau mahal, ya tidak dibeli," kata Novianto.
Kementerian Perhubungan meminta Asosiasi Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) untuk melakukan penghitungan jika ingin meminta revisi tarif batas atas, menyusul kenaikan harga avtur. "Saya sudah meminta INACA untuk mengajukan hitungannya, disertai justifikasi dan usulannya," kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti Singayuda Gumay.
MARIA YUNIAR