TEMPO.CO, Jakarta - Konsultan properti asal Amerika Serikat, Cushman and Wakefield, menilai Jakarta sudah tidak menarik lagi bagi pengembangan bisnis mal. Head of Research and Advisory Cushman and Wakefield, Arief Rahardjo, mengatakan jumlah mal di Jakarta terlalu padat.
"Sehingga banyak pengembang yang mengincar lahan di sekitar Jakarta," kata Arief ketika dihubungi Tempo pada Selasa, 17 September 2013. Kawasan seperti Tangerang, Bekasi, dan Depok mulai dilirik.
Alasannya, banyak pekerja Jakarta kelas menengah ke atas tinggal di permukiman yang ada di kawasan sekitar Ibu Kota. Kelas menengah inilah yang merupakan pangsa pasar dari bisnis pusat perbelanjaan. "Sehingga pengembang mal lebih memilih jemput bola dibandingkan bersaing di Jakarta yang sudah padat," ujar Arief. Menurut Arief, pembangunan mal berbanding lurus dengan pengembangan permukiman, khususnya untuk kelas menengah.
Sehingga, Arief melanjutkan, ide Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengeluarkan moratorium pembangunan mal sudah tepat. Sayangnya, untuk izin mal yang sudah keluar sebelum adanya moratorium ini tentunya tidak bisa dihentikan.
Menurut data yang dilansir oleh Cushman and Wakefield, pada tahun 2008 jumlah pusat belanja di DKI menempati lahan seluas 3.080.097 meter persegi. Angka tersebut terus naik hingga pada semester I 2013 jumlahnya menjadi 3.920.618 meter persegi. Bahkan, hingga akhir 2013, diprediksi ada penambahan seluas 190.100 meter persegi lahan yang dibangun mal.
SYAILENDRA
Munzir Almusawa Ramal Dirinya Meninggal di Usia 40
Di Bawah Lindungan Bunda Putri
Fathanah Inapkan Vitalia di Le Meridien
Fathanah Minta Tri Kurnia Tutupi Perselingkuhannya
Cuma Curhat, Fathanah Beri Cewek Ini Ratusan Juta?