TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Nur Pamudji, mengatakan hasil temuan Badan Pemeriksaan Keuangan yang menyebut realisasi belanja subsidi lebih besar daripada anggaran disebabkan adanya pembengkakan biaya produksi.
"PLN, kan, beli bahan bakar untuk pembangkit listrik, nah harga minyak itu fluktuatif," ujarnya di kantor Kementerian BUMN, Rabu, 25 September 2013. Selain itu, dia menambahkan, pelemahan rupiah terhadap dolar juga membuat harga beli solar meningkat.
PLN, kata Nur, memang membayar biaya pembelian bahan bakar minyak menggunakan rupiah. "Tapi, kan, harga minyaknya mengikuti Mean of Platts Singapore (MOPS) atau indikator harga jual minyak dunia yang menggunakan dolar," kata Nur. "Dengan harga yang fluktuatif, apalagi rupiah terus melemah, ya, wajar subsidi membengkak. MOPS, kan, tidak mengikuti asumsi harga minyak pada APBN."
Subsidi untuk PLN, kata Nur, dihitung dari selisih antara biaya aktual yang dikeluarkan PLN untuk produksi listrik dan penerimaan dari pembayaran listrik oleh pelanggan. "Data pendapatan kami dari pelanggan selalu tercatat, kok, database-nya lengkap dan terkomputerisasi," ujarnya. "Wajar jika realisasi subsidi selalu lebih besar karena penerimaan PLN tidak cukup untuk menutupi biaya produksi." Selain itu, biaya produksi juga selalu membengkak akibat harga bahan bakar yang fluktuatif.
Nur menolak jika realisasi subsidi yang lebih besar ini digolongkan sebagai mark-up. "Dalam audit, BPK pakai cara yang sama untuk menghitung anggaran setiap BUMN. Padahal, kan, imbas harga minyak ini berbeda-beda pada setiap BUMN," kata dia. Dia menegaskan, PLN selalu mengikuti ketentuan Menteri Keuangan dalam soal pembiayaan anggaran yang menggunakan subsidi. "Kementerian Keuangan punya daftar pos apa saja yang tidak boleh disubsidi, kami mengikuti itu."
Sebelumnya diberitakan, Badan Pemeriksa Keuangan mengklaim telah menemukan upaya penggelembungan belanja subsidi yang dilakukan oleh 10 badan usaha milik negara penerima PSO. Pekan lalu, Ketua BPK Hadi Poernomo menyatakan lembaganya telah menyelamatkan Rp 33,88 triliun uang negara dari praktek tersebut. Setiap tahun BPK selalu menemukan penyimpangan administrasi maupun dugaan korupsi oleh entitas terperiksa.
Pada 2011, BPK mengoreksi belanja subsidi sebesar Rp 2,5 triliun, jumlahnya meningkat pada 2012 menjadi Rp 9,5 triliun. Dalam hasil pemeriksaan BPK yang salinannya diperoleh Tempo, dugaan penggelembungan dana PSO sepanjang 2007-2012 dilakukan oleh PT PLN sebanyak Rp 12,4 triliun. Pada posisi berikutnya adalah PT Pertamina dan Perum Bulog dengan jumlah masing-masing Rp 7,8 triliun. Adapun subsidi PT KAI yang dikoreksi sebesar Rp 667 miliar.
PRAGA UTAMA
Terhangat:
Lurah Lenteng Agung | Mobil Murah | Kontroversi Ruhut Sitompul
Berita Terpopuler
Pertamina Klaim Pemasangan RFID Kelar September
RFID Molor, Beli Bensin Gunakan Kartu Debit
Inflasi September Diprediksi di Bawah 1 Persen
Aviliani: Mobil Murah Jelas Blunder