TEMPO.CO, Bandung - Puluhan investor emas bodong di Bandung mempertanyakan uang setoran modal dan pembayaran deviden tiap bulan yang berhenti sejak setahun lalu. Jumlah uang yang belum kembali berkisar jutaan hingga miliaran rupiah per orang.
Salah seorang perwakilan investor emas di Bandung, Hariono mengatakan, di wilayah Bandung dan sekitarnya, diperkirakan ada 15 ribu orang yang tertipu. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai dari petani, guru, tentara, polisi, dan dokter. "Petani ada yang menggadaikan lahan pertaniannya, dan guru menggadaikan sertifikat gurunya ke bank," kata Hariono kepada Tempo, Kamis, 26 September 2013.
Investasi ini mewajibkan setiap investor untuk membeli saham 1000 lembar (lot) senilai Rp 17 juta. "Saya sendiri dan keluarga membeli 33 lot atau Rp 500 juta lebih," kata Hariono. Investor lain, katanya, ada yang menyetor hingga Rp 35 miliar. Dana yang dihimpun dari masyarakat itu untuk memodali penambangan emas di Panama, Amerika Selatan dan di Afrika.
Awalnya, kata Hariono, sebulan setelah ikut menyetor modal, investor mendapat pembayaran deviden tetap setiap bulan sebesar 0,1 ounce (oz) emas yang dikonversi ke kurs moneter sesuai harga spot emas waktu nyata dari setiap lot. Nilai deviden itu biasanya diterima investor sebesar Rp 1,6 hingga 1,7 juta per bulan. Besarannya pernah mencapai nilai tertinggi hampir Rp 2 juta saat harga emas naik pada Agustus 2012.
Uang deviden itu bisa diambil atau tetap disimpan untuk menambah jumlah lot. Namun pada Oktober 2012, kata Rahmat, pembayaran deviden ke rekening tabungan pemegang saham berhenti tanpa alasan yang jelas. "Kami sekarang merasa tertipu," katanya. Dari hasil pelacakan mereka, kantor lembaga tersebut tidak berdiri resmi di Indonesia, tidak terdaftar atau mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan, dan kantornya di luar negeri berpindah-pindah tak jelas.
Pengamat ekonomi dari Universitas Padjadjaran Kodrat Wibowo mengatakan, bisa jadi perusahaan menghentikan pembayaran keuntungan karena merugi akibat harga emas yang terus menurun. Bisnis investasi, kata dia, tidak selalu menjanjikan keuntungan, tapi juga berisiko kerugian. Namun soal lembaga pengumpul modal yang tidak berizin, "Pasti bodong, dan sulit minta jaminan kalau ada apa-apa seperti bangkrut."
Menurut Kodrat, masyarakat harus makin berhati-hati dan tidak tergiur iming-iming cepat kaya dari penawaran investasi. Dia menyarankan masyarakat yang ditawari investasi untuk mengecek status dan perizinan lembaga yang menghimpun dana ke Otoritas Jasa Keuangan.
ANWAR SISWADI
Keterangan: Sudah ada ralat nama narasumber berita ini. Sebelumnya nama narasumber tertulis Rahmad Febrianto. Mohon maaf atas kekeliruan ini-Red
Terhangat:
Lurah Lenteng Agung | Mobil Murah | Kontroversi Ruhut Sitompul
Berita Terpopuler
Jokowi: Lurah Susan Tak Akan Dipindah
Ini Pengakuan Tersangka Penyekap Penjual Kopi
Ahok Tuding Ada Provokator Demo Lurah Susan
Perempuan Cantik di Seputar Narkoba
Demo Lurah Susan, Pengamat: Politik Dalih Agama