TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Syarifuddin Sudding, mengatakan ratu narkoba Schapelle Leigh Corby tidak layak mendapatkan pembebasan bersyarat dari pemerintah. Sebab, pembebasan bersyarat terhadap gembong narkoba itu akan membuat jaringan narkoba internasional meremehkan institusi penegak hukum.
"Lemahnya institusi kita terbukti dengan memberikan kenyamanan para gembong narkoba berupa dispensasi hukuman. Pantas saja Indonesia selalu jadi market narkoba kalau seperti ini, karena tidak ada efek jera," kata Sudding, Jumat, 27 September 2013.
Corby sudah berkali-kali mendapat remisi, bahkan menerima grasi dari pemerintah. Hingga 2013, ia total menerima remisi sebanyak 39 bulan. Warga Australia ini ditangkap di Bandara Ngurah Rai pada 8 Oktober 2005 karena di dalam tasnya ditemukan 4,2 kilogram mariyuana. Lalu, Pengadilan Negeri Denpasar memvonisnya dengan hukuman 20 tahun penjara yang dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung.
September lalu, Corby mengajukan pembebasan bersyarat. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan Gusti Ngurah Wiratna mengatakan sedang memproses permohonan pembebasan bersyarat tersebut. Pada Kamis kemarin, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan pemerintah bisa saja mengabulkan pembebasan bersyarat Corby. "Kalau memenuhi syarat diberikan, tidak memenuhi syarat, kami tolak," kata Denny.
Sudding mengingatkan bahwa pemerintah mempunyai komitmen terbebas dari narkoba pada 2015. Namun, kata dia, pemberian remisi sampai pembebasan bersyarat terhadap terpidana narkoba justru bertentangan dengan komitmen tersebut.
Menurut politikus Partai Hati Nurani Rakyat ini, seharusnya Corby dikenai hukuman mati untuk memutus jaringan narkoba internasional, bukan memberi remisi. Ia menduga pemerintah Australia berhasil membujuk pemerintah untuk memproses pembebasan bersyarat yang diajukan oleh Corby. "Ini tidak terlepas adanya peran lobi ke pemerintah," kata Sudding.
ALI AKHMAD