TEMPO.CO, Surakarta - Pengusaha properti di Surakarta mengeluhkan aturan baru Bank Indonesia soal pembiayaan kepemilikan rumah. Aturan tersebut yaitu kewajiban membayar uang muka 40 persen untuk kepemilikan rumah kedua dan keharusan melakukan akad kredit dengan perbankan setelah rumah berdiri.
Salah seorang pengusaha properti, Anthony Hendro mengatakan aturan itu membuat pengusaha harus punya likuiditas yang kuat. “Karena harus keluar modal membangun rumah dulu sebelum kredit cair. Sedangkan sebelumnya kredit cair dulu baru bangun rumah,” ujarnya, Jumat, 27 September 2013.
Masalahnya, pemesan rumah belum tentu jadi membeli rumah itu. Sebab ada kemungkinan pembelian rumah secara kredit batal karena si pemesan meninggal dunia atau pindah domisili. “Kalau banyak rumah yang tidak jadi dibeli, maka angsuran kredit kami juga macet. Malah terjadi kredit macet,” ucapnya.
Karena itu pengusaha properti memilih menunggu dampak dari aturan yang mulai berlaku Oktober. Pengusaha menolak pesanan pembangunan rumah kedua dan lebih berkonsentrasi membangun rumah untuk kepemilikan pertama. “Atau mending jadi broker sekalian,” ujarnya.
Ketua Real Estate Indonesia Surakarta Yulianto Wibowo mengatakan pengetatan penyaluran kredit kepemilikan rumah untuk rumah kedua berpeluang menghilangkan potensi penjualan rumah kedua. Menurutnya dari penjualan rumah semester pertama secara nasional sebesar Rp 335 triliun, Rp 34 triliun di antaranya untuk kepemilikan rumah kedua. “Dan itu berpotensi hilang,” katanya.
Dia menilai pengusaha properti menolak menanggung risiko batalnya pembelian rumah setelah rumah selesai dibangun. Sebelum ada aturan baru, risiko itu ditanggung bank.
Selain merugikan pengembang, dia mengatakan kebijakan itu juga merugikan masyarakat yang ingin membeli rumah yang lebih baik dibanding rumah pertama. “Ketika kesejahteraan meningkat, masyarakat ingin beli rumah yang lebih baik. Dan sekarang hal itu makin sulit terwujud,” ucapnya.
UKKY PRIMARTANTYO