TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarno Putri menampung masukan dan keluhan sejumlah rektor universitas swasta dan pakar pertanian di Yogyakarta soal kedaulatan pangan. Para akademisi itu menuding berbagai kebijakan ketahanan pangan yang semakin tak jelas belakangan ini.
"Indonesia selalu saja terlambat dalam mengantisipasi persoalan pangan," kata Dwijono Hadi Darwanto, pakar pertanian Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, Sabtu malam, 28 September 2013. Menurut dia, krisis pangan sebenarnya telah dimulai sejak 1990.
Salah satunya komoditas kedelai. Ia menyebut, pada 1990, Indonesia sebenarnya mulai kekurangan stok kedelai meski tidak setinggi kebutuhan sekarang. Waktu itu impor kedelai sekitar 1,2 juta ton. Sekarang kebutuhan hampir 2 juta ton.
Namun, kata Dwijono, sampai saat ini tak ada kemajuan tindakan selain membuka keran impor. "Yang menjadi persoalan selama ini tidak ada transparansi berapa kebutuhan kedelai itu yang terserap untuk industri dan yang terserap ke masyarakat?" ujarnya.
Menurut informasi yang dia peroleh, impor kedelai untuk industri terserap rata rata 75 persen. Sedangkan sisanya baru lari menjadi pangan masyarakat. "Industri ini kebutuhannya rutin dan jumlahnya selalu besar, seharusnya ada pembatasan impor."
Dwijo menegaskan, Indonesia bisa kesulitan jika terus menerus mengandalkan impor kedelai. Pasalnya saat ini ada kecenderungan negara pengekspor kedelai memanfaatkan komoditas itu untuk pengembangan sumber energi baru untuk mereka sendiri.
Amerika Serikat misalnya kini mengembangkan bahan bakar biofuel sebagai pengganti bahan bakar minyak yang kian langka. Karena itulah, Dwijono mengatakan, Amerika Serikat pada 2010 lalu menurunkan ekspor kedelai sebesar 50 persen untuk bioefuel. Akibatnya harga komoditas itu langsung naik di pasar dunia.
Pada kesempatan yang sama, Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Edy Suandi Hamid mempertanyakan upaya Megawati atau PDIP dalam menyikapi komoditas pangan yang kian menjadi komoditas politik saat ini.
"Harga komoditas melambung karena pemerintah tak berani memerangi sistem rente (makelar) komoditas ini. Bukan kelangkaan yang terjadi, tapi pelangkaan," kata Edy dengan nada tinggi. Ia mendesak Mega melalui kepanjangan tangannya di DPR berani menjamin lisensi penjualan komoditas agar tak terjadi `pelangkaan`.
Tak hanya itu. Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Maksum juga mendesak PDIP sebagai partai yang mengandalkan jargon ekonomi kerakyatan untuk memperbaiki situasi pangan Indonesia. "Saat ini mungkin kondisi pangan kita aman atau tercukupi, tapi kita tidak berdaulat karena masih impor," ujar Maksum.
Menanggapi semua keluhan itu, Megawati mengungkapkan ia sudah capek berteriak menuntut pemerintah menghentikan kebijakan impor yang kian luas menyentuh berbagai produk saat ini.
"Sampai mulut saya mungkin ketarik ke belakang karena capek menyerukan soal ini lewat fraksi PDIP di DPR," kata dia.
Mega pun mengaku kesal dengan pada satu hal yang selama ini dilupakan dalam pembangunan ketahanan pangan di Indonesia. "Soal anggaran penelitian misalnya, sampai sekarang tak pernah dialokasikan lebih dari satu persen dari APBN. Mau swasembada bagaimana?"
PRIBADI WICAKSONO