TEMPO.CO, Yogyakarta - Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman diberi hak mengatur kepemilikan tanah mereka. “Pengelolaan tanah sesuai aturan pemerintah pusat,” kata Kepala Biro Hukum DIY, Sumadi, kemarin. Masalah ini muncul dalam rapat Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah Istimewa di DPRD DIY, Selasa, 1 Oktober 2013. Rapat itu melibatkan pejabat Keraton Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto.
Menurut Sumadi, Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah untuk kegiatan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Wewenang ini, menurut Sumadi, mengacu pada Undang-Undang Keistimewaan DIY. “Aturan itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria,” katanya.
Sumadi juga menyebut Keraton Yogyakarta berwenang mengatur pengajuan surat hak pakai dan hak guna bangunan oleh masyarakat di atas tanah Keraton. Sedangkan Pemerintah DIY yang sejatinya juga dipimpin Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, hanya berfungsi membantu memfasilitasi. Fasilitas itu adalah usulan pembentukan Badan Pertanahan dan Tata Ruang. Lembaga ini akan berhubungan dengan Badan Pertanahan Nasional.
Anggota Badan Anggaran DPRD DIY, Isti’anah Zainal Asiqin, mengatakan Keraton Yogyakarta dan Pakualaman menjadi badan hukum khusus yang dibentuk sesuai Undang-Undang Keistimewaan. Aturan ini, menurut Isti’anah, berlaku lex specialis atau berlaku secara khusus terhadap Undang-Undang Pokok Agraria. “Keraton dan Pakualaman punya hak atas tanah setelah proses pendataan. Badan Pertanahan Nasional yang akan menerbitkan sertifikat tanah,” katanya.
Penguasaan tanah oleh Keraton dan Pakualaman dikecam oleh Komite Perjuangan Rakyat Yogyakarta karena bertentangan dengan Undang-Undang Agraria yang telah diadopsi Pemerintah DIY lewat Perda Nomor 3 Tahun 1984. Saat itu Gubernur DIY adalah Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Gubernur Paku Alam VIII. “Sultan Hamengku Buwono IX waktu itu menyerahkan tanah Keraton kepada negara,” ujar Restu Baskara, juru bicara Komite Perjuangan Rakyat Yogyakarta.
Menurut dia, penguasa Keraton Yogyakarta saat ini, Sultan Hamengku Buwono X, tak menampung aspirasi masyarakat tentang pemanfaatan tanah. “Kami tetap menolak praktek feodalisme itu,” kata Restu. Maka, ujarnya, mereka akan kembali menggelar protes pengesahan Raperda Istimewa menjadi Perda Istimewa pada 7 Oktober 2013.
SHINTA MAHARANI
Topik Terhangat
Edsus Lekra|Senjata Penembak Polisi|Mobil Murah|Info Haji|Kontroversi Ruhut Sitompul
Berita Terpopuler
Australia Minta Maaf Soal Impor Sapi
Sejarah Kelam Ludruk Saat Peristiwa 1965
Begini Isi Prinsip 1-5-1 Lekra
PPATK Ungkap Rekening Gendut Pegawai Kemendikbud
KPK: Labora Tak Pernah Beri Data Aliran Uang