TEMPO.CO, Sleman - Tepat di Hari Batik Nasional, 2 Oktober 2013, sebanyak enam diplomat negara asing belajar membatik. Mereka dilatih membuat batik, membuat pola, dan menggunakan canting untuk menorehkan lilin. Pelajaran membatik bagi diplomat asing supaya mereka bisa lebih detail mempromosikan melalui budaya dan potensi Indonesia. Selain itu, juga menjadi jalan kerja sama antarnegara.
Para diplomat belajar membatik di Workshop Batik Indigo, Jalan Kaliurang kilometer 10, Jetisbaran, Ngaglik, Sleman, yang dimentori oleh dosen kimia Universitas Gadjah Mada, yang meneliti proses pewarna alami untuk kain. "Para diplomat negara asing belajar bahasa, budaya, kuliner, pahat wayang kulit, hingga membatik," kata Desy Kurniati, staf pemasaran Alam Bahasa Yogyakarta.
Para diplomat yang ikut dalam program The 8th Promotion of Indonesian Language for Foreign Diplomats itu belajar di Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 3 September hingga 25 Oktober 2013. Mereka adalah diplomat-diplomat negara asing dari Nikaragua, Ehtiopia, Myanmar, Suriname, Jepang, dan Laos. Para diplomat tersebut adalah peserta program belajar bahasa dan budaya Indonesia yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri di Yogyakarta.
Pihak penyelenggara memilih batik sebagai lokakarya untuk para diplomat karena batik merupakan kebanggaan Indonesia dengan motif dan warna-warnanya yang khas. Namun, di balik warna-warni batik, ada pula keprihatinan terhadap proses pewarnaan sintetis yang banyak digunakan.
"Edia Rahayuningsih, dosen pengajar Teknik Kimia UGM, mencari solusi kegalauannya atas bahaya pewarna sintetis terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dengan penelitiannya tentang pewarna alami," kata Swanny Hartono, Direktur Alam Bahasa. Doktor kimia itu, kata dia, akan berbagi pengalaman dalam meneliti dan memasyarakatkan pewarnaan alami batik.
Salah satu diplomat dari Ethiopia, Birhanu Jibril Gelaneh, menyatakan ingin mengetahui lebih jauh soal pewarna alami yang diteliti oleh dosen UGM itu. Selain itu, juga ingin tahu bagaimana ia menggerakkan masyarakat supaya menggunakan pewarna alami untuk kain dan bukan pewarna sintetis.
Edia menyatakan, para diplomat diajari membatik dengan pola sederhana. Dari proses pola, menorehkan lilin, hingga melorot kain menjadi kain batik. Selain itu, ia menjelaskan warna-warni alami dari bahan alam, bahkan dengan limbah. "Kami jelaskan pewarnaan alami, bukan dengan warna sintetis kimiawi," kata dia.
Ia mencontohkan, untuk mendapatkan warna biru digunakan daun indigo fera, untuk warna coklat tua digunakan kulit kayu pohon bakau, dan kayu togeran menghasilkan warna kuning.
Tidak hanya itu, limbah gergaji kayu merbau bisa menghasilkan warna coklat muda. Apabila ditambah indigo bisa menjadi warna kehijauan. Bahkan, serabut kelapa pun bisa diproses menjadi pewarna, yaitu bisa warna coklat tua, coklat muda, dan merah muda.
MUH SYAIFULLAH
Topik Terhangat
Edsus Lekra
Senjata Penembak Polisi
Mobil Murah
Info Haji
Kontroversi Ruhut Sitompul
Baca Juga
Iwan Tirta Bikin Konsep Baru Toko Batik
Widyawati: Mengenakan Batik Bersahaja
Mari Mengenal Batik Indonesia Timur