TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman berhak mengatur tata ruang DIY. Kewenangan itu dibicarakan dalam Rapat Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah Istimewa induk di DPRD DIY, Kamis, 3 Oktober 2013. Tata ruang itu meliputi pengelolaan tanah yang berstatus Sultan Ground dan Pakualam Ground, misalnya kawasan Tugu, keraton, dan kawasan Gunung Merapi. "Keraton berwenang membuat produk hukum yang mengikat," kata Kepala Biro Hukum Pemerintah DIY, Sumadi.
Adapun Pemerintah DIY hanya memfasilitasi rancangan umum kebijakan tata ruang tanah Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Misalnya ikut membuat kebijakan pengembangan struktur wilayah. “Pemanfaatan tanah Keraton dan Pakualaman nantinya tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat,” ujar Sumadi.
Tapi, anggota Panitia Khusus Raperda Istimewa, Agus Sumartono, mempertanyakan kewenangan Keraton dan Puro Pakualaman mengatur tata ruang wilayah. Dia meminta pengelolaan dan pemanfaatan tanah Keraton Yogyakarta tetap mengacu pada Peraturan Daerah Tata Ruang dan Wilayah DIY serta nasional. "Jangan sampai bertentangan karena ini menyangkut kepentingan masyarakat," kata dia.
Peneliti pertanahan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Ahmad Nashih Luthfi, menilai Raperda Istimewa banyak yang tak konsisten. Misalnya, klaim kepemilikan tanah oleh Keraton dan Pakualaman dalam Raperda Istimewa. Pemerintah telah menghapus kepemilikan sebagian tanah Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman sejak muncul Undang-Undang Pokok Agraria. “Tanah itu kembali ke negara untuk kepentingan masyarakat,” katanya. Sebelumnya, aktivis juga memprotes penguasaan tanah oleh Keraton dan Pakualaman yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Agraria.
Anggota Badan Anggaran DPRD DIY, Isti’anah Zainal Asiqin, mempersilakan masyarakat yang menolak rencana pengesahan Raperda Istimewa mengajukan judicial review Undang-Undang Keistimewaan ke Mahkamah Konstitusi. "Silakan sampaikan aspirasi jika tak setuju dengan isi UU Keistimewaan," kata Isti'anah. Menurut dia, Keraton dan Puro Pakualaman menjadi subyek hukum yang mempunyai hak milik atas tanah. "Jika pemberian hak milik atas tanah dianggap feodal, yang bermasalah UU Keistimewaan."
Sementara itu, kerabat keraton Yogyakarta, GBPH Prabukusumo, mendesak agar Raperda Keistimewaan DIY segera disahkan menjadi peraturan daerah. “Lebih baik cepat selesai. Jangan takut ada kesalahan. Itu bisa diamandemen,” kata adik tiri Sultan Hamengku Buwono X ini.
SHINTA MAHARANI | PITO AGUSTIN RUDIANA