TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, berharap Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) soal mekanisme pengawasan dan perekrutan hakim konstitusi tidak ditumpangi kepentingan Presiden, jika memang jadi diteken.
"Kalau Presiden sampai menentukan kriteria hakim konstitusi serta unsur detail lainnya, saya pikir Perpu itu keliru," ujar Hifdzil saat dihubungi Tempo, Senin pagi, 7 Oktober 2013.
Menurut Hifdzil, Perpu akan ideal jika hanya mengatur mekanisme pengawasan dan perekrutan hakim konstitusi. Ia sendiri menilai penerbitan Perpu tersebut perlu menimbang peristiwa yang terjadi belakangan.
Pemerintah berencana menerbitkan Perpu setelah bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi, 2 Oktober lalu. Akil diduga menerima suap terkait sengketa pemilihan kepala daerah di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten.
Bekas Ketua MK, Jimly Asshidiqqie, menilai penerbitan Perpu tidak sesuai dengan Pasal 24B ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia. Ia menilai ada motif inkonstitusional di balik rencana penerbitan Perpu tersebut.
Hifzdil menilai Jimly konsisten dengan kekeliruannya. "UU Nomor 22 Tahun 2004 yang berisi aturan pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial itu dibatalkan saat Jimly jadi Ketua MK. Menurut saya, itu keputusan yang keliru, dan Jimly konsisten dengan kekeliruannya."
ERWAN HERMAWAN
Berita Terpopuler Lainnya:
AQJ Pernah Minta Dhani dan Maia Bersatu
Jimly: Pertemuan SBY Bahas MK seperti Arisan
Menko Djoko: Perpu Penyelamatan MK Konstitusional