TEMPO.CO, Yogyakarta - Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) menggelar konferensi internasional yang membahas fenomena acara dakwah di televisi di kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu, 9 Oktober 2013. “Kami berupaya merumuskan model ideal dakwah televisi yang bermutu tapi tetap sesuai dengan orientasi bisnis stasiun televisi,” ujar wakil ICRS Dicky Sofyan.
Menurut Dicky, dalam perkembangannya orientasi siaran dakwah televisi total untuk kepentingan bisnis. Bahkan banyak dai yang dipesan untuk menyampaikan testimoni mengenai produk sebagai bagian dari iklan. "Padahal, mereka belum tentu sudah memakai produk itu," ujar dia. Selain itu, katanya, dai yang populer di televisi sekarang suka memasang tarif mahal. "Kalau pasang tarif berarti profesi, jadi perlu ada standardisasi kualitas seperti akreditasi atau standar minimum pendidikan dai di siaran televisi."
Dicky menjelaskan, kajian peneliti di lembaganya menyimpulkan ada fenomena pendangkalan kajian agama yang makin parah dalam siaran televisi. Indikasinya, materi dakwah membahas masalah keagamaan yang terlalu sederhana. "Isinya remeh-temeh semua, di pelajaran agama SD dan SMP sudah ada," ujar Dicky.
Dia mengatakan mayoritas pesan keagamaan di siaran dakwah televisi selalu membahas masalah seputar ritual atau bab halal dan haram. “Gejala ini mengkhawatirkan, karena akan membuat masyarakat mudah menerima gagasan keagamaan yang konservatif dan radikal,” katanya. Ada juga produser yang lebih suka memilih dai yang kocak atau punya wajah rupawan untuk menarik perhatian penonton.
Salah satu pembicara di konferensi, Nina Muthmainnah Armando, menilai pilihan televisi tak rasional menayangkan siaran dakwah yang berbau hiburan dan dangkal isinya. Sebab, rating tertinggi siaran dakwah televisi tahun ini baru posisi ke 222 dari 500 acara. “Fakta ini menunjukkan alasan rating dan bisnis semestinya bisa dikesampingkan oleh produser televisi,” ujar bekas komisioner KPI ini.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM