TEMPO.CO, Jakarta - Pengusaha eksportir Indonesia belum merasakan dampak ekonomi dari terganggunya operasional pemerintah (shutdown) Amerika Serikat (AS), seiring belum juga disepakatinya anggaran Negeri Abang Sam tersebut oleh Kongres. "Sementara belum, sebagian besar kontrak-kontrak dengan AS jangka menengah panjang, per tiga bulan, enam bulan. Kalau kontrak garmen juga sifatnya pada musim-musim yang ada," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, kepada Tempo, Rabu, 9 Oktober 2013.
Ia menjelaskan, pengusaha Indonesia tak punya kontrak harian dengan AS lantaran distribusi barang dari Tanah Air ke AS butuh waktu cukup panjang karena jarak yang terlalu jauh. "Paling-paling kalau ada tambahan baru dilakukan," katanya.
Meski begitu, Sofjan mengatakan, pengusaha domestik masih menunggu keputusan AS soal perubahan batas atas utang negara pada 17 Oktober 2013. "Mereka bisa bayar bonds-nya tidak? Kalau tidak, dampak ke komitmen-komitmen pembayaran kami seperti apa?"
Sofjan juga mengutarakan kekhawatiran akan keberlanjutan kontrak-kontrak ekspor Indonesia-AS jika kondisi ekonomi negara tersebut memburuk. "Kalau terjadi sesuatu dengan ekonomi AS, seluruh dunia bisa kena. Kita harus siap-siap, bisa-bisa mereka batalkan kontrak sama kita. Banyak yang unpredictable, kami harapkan tidak terjadi," ujarnya.
Ia menjelaskan, AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Selain dengan AS, mitra besar lainnya seperti Cina, Jepang, Korea, dan negara-negara Eropa. "Trading melalui negara-negara ASEAN juga besar, ekspor kita selalu melalui Singapura, ada juga yang kita ekspor di-reekspor dari sana," ucapnya.
Menurut Sofjan, untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian ke depan, pengusaha mengakali dari segi cash flow. Jika kontrak-kontrak ekspor diputus, pengusaha akan ambil langkah segera untuk menjual bahan baku yang telanjur dibeli, baik ke pengusaha di dalam negeri maupun di luar negeri.
Selain itu, kata dia, sejumlah pengusaha juga sudah menurunkan kapasitas produksinya sebesar kira-kira 10 persen, tak melakukan penerimaan pekerja baru, hingga merumahkan pekerjanya. Hal ini untuk menanggapi kondisi ekonomi global saat ini dan ke depan. "Tidak bisa jual, mau apa? Cost harus dikurangi," ucapnya.
MARTHA THERTINA
Berita Terpopuler Lainnya
Jawara, Ulama, dan Golkar dalam Dinasti Ratu Atut
KPK Geledah Kantor Adik Atut di Mega Kuningan
Adik Prabowo Tolak Rp 500 Miliar dari Jokowi
Airin Sebaiknya Jangan Pulang Dulu dari Amerika
Filosofi Permen ala Jokowi