TEMPO.CO, Surabaya - Suara bising musik dangdut koplo berdentam-dentam begitu kita masuk di sepanjang Dukuh Kupang Timur, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawaha, Surabaya. Suara nyanyian dan celetukan bersahutan dari penghuni dan tetamu yang asyik berkaraoke sejak petang hingga pagi.
Demikianlah suasana Gang Dolly, lokalisasi yang disesaki jajaran rumah bordil—di sini disebut wisma—di sejumlah gang di Putat Jaya. Berdempetan dengan Kelurahan Putat Jaya, ada lagi lokalisasi Jarak, di Kelurahan Jarak, di kecamatan yang sama.
Mata pengguna jalan disuguhi pemandangan aduhai, perempuan-perempuan muda berpakaian minim. Bak etalase pertokoan, wisma-wisma itu memajang perempuan pekerja seks komersial itu dalam ruangan dengan kaca besar. Pria hidung belang yang lewat dengan mudah memandang untuk kemudian memilih perempuan yang akan menemaninya kencan. “Ayo, Mas, murah saja. Cuma Rp 100 ribu per jam,” kata seorang makelar menawari Tempo, Selasa dua pekan lalu.
Semakin larut, Dolly semakin meriah. Lokalisasi Dolly ini sudah beroperasi sejak zaman kolonial Belanda. Pendirinya adalah Dolly van der Mart, wanita keturunan Belanda. Ia menyulap kawasan kuburan di Putat Jaya itu menjadi tempat hiburan malam. Karena yang mendirikan lokalisasi itu bernama Dolly, akhirnya kawasan tersebut kondang dengan sebutan Gang Dolly.
Edsus Dolly...