TEMPO.CO, Surabaya- Tidak semua pekerja seks komersial di Gang Dolly, Surabaya, merasa diuntungkan dengan bekerja sebagai pemuas nafsu para lelaki hidung belang. Shinta (bukan nama sebenarnya), misalnya, meski sudah lima tahun jadi PSK, ia tak bisa keluar dari wisma karena diikat oleh muncikari yang mengasuhnya.
"Yang paling diuntungkan dari bisnis kenikmatan ini adalah muncikari dan pemilik wisma, Mas," kata salah seorang PSK penghuni wisma New Barbara, di Gang Dolly, kepada Tempo, Rabu, 9 Oktober 2013.
Menurut Sinta, setiap kali melayani tamu, dirinya hanya mendapatkan jatah 30 persen dari tarif yang ditetapkan oleh pengelola wisma. Sementara 60 persennya masuk ke kantong muncikari dan 10 persennya lagi dibagikan kepada calo atau makelar yang bertugas mencari pelanggan di depan wisma.
Dikatakan oleh Sinta, tarif untuk dirinya setiap jam Rp 200 ribu. Dari situ ia mengantongi uang cash dari setiap tamunya sebesar Rp 60 ribu. Tetapi uang itu juga harus ia keluarkan lagi untuk dibagikan kepada pembantu yang mencuci seprai dan baju-bajunya yang digunakan saat melayani tamu. "Jadi bersih untungku hanya Rp 40 ribuan," ujarnya.
Tak hanya itu, Sinta juga harus mengeluarkan uang untuk merawat kecantikan dan membeli jamu-jamuan agar dirinya tetap segar dan cantik. Setiap dua hari sekali minimal dirinya harus mengeluarkan uang Rp 20 ribu untuk membeli jamu tradisional guna merawat bagian vitalnya. "Kalau muncikari, kan, tinggal bayar sewa sama pemilik wisma saja, beres urusan," katanya.