TEMPO.CO, Surabaya - Pengamat sosial Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menilai rencana Pemerintah Kota Surabaya menggusur dan menutup lokalisasi Dolly tidak akan efektif untuk memberangus praktek maksiat di Surabaya. Ia menuturkan, menutup lokalisasi Dolly adalah cara instan dan tidak mendasarkan pada dampak berikutnya.
Menurut dia, pemerintah Surabaya cenderung menyelesaikan masalah maksiat dengan parameter politik berdasarkan target kinerja pemimpinnya. Padahal, rantai bisnis maksiat di Dolly ibarat sudah menahun dan mengakar puluhan tahun silam. "Jangan di-gebyah uyah. Menutup lokalisasi dengan memberikan pelatihan dan kompensasi uang itu tidak menyelesaikan masalah sampai akarnya," kata Bagong kepada Tempo, Jumat, 11 Oktober 2013.
Dari hasi riset kualitatif tentang anak perempuan dalam indutri seks di Dolly pada 2012, Bagong menyimpulkan, penggusuran lokalisasi Dolly bukan solusi terbaik mengurai sengkarut dunia maksiat. Wanita terjun ke dunia maksiat ternyata didasarkan pada sejumlah pemicu, bukan pemicu tunggal. Lain hal apabila semua pekerja seks di Dolly terjerumus ke lembah hitam karena faktor ekonomi semata dan ketiadaan keahlian alias minim skill individu.
Menurut dia, rencana Pemkot Surabaya menggusur lantas memberi pelatihan dan duit modal membuka usaha, menggambarkan bahwa semua wanita yang terjerumus di Dolly dipicu dari satu faktor saja.
Satu Minggu lalu, Bagong mengaku diundang oleh Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam diskusi membahas dampak penutupan lokalisasi dengan dinas sosial dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Dalam diskusi, katanya, penutupan lokalisasi di sejumlah daerah dinyatakan tidak efektif memutus rantai dunia prostitusi. Padahal sejumlah PSK telah diberi modal usaha dan pelatihan. Prostitusi malah beralih ke hotel-hotel dan jalanan, bahkan lewat pesanan. Akibatnya, praktek prostitusi baru ini disinyalir bisa memicu penyebaran penyakit. "Temuan ini semakin menguatkan bahwa wanita terjerumus ke dunia esek-esek bukan didorong kemiskinan semata, tapi moral juga berperan membentuk sikap PSK," ucapnya.
Selain tak efektif menutup Dolly, kata dia, masyarakat sekitar sangat diuntungkan atas keberadaan lokalisasi. Ibaratnya, antara rumah bordir dengan warga sekitar sudah terjalin simbiosis mutualisme dan mengakar. Hubungan yang berjalin kelindan ini sangat sulit diputus dalam tempo singkat. Bagong sendiri tak tahu butuh waktu berapa lama agar Dolly tutup tanpa menimbulkan masalah baru di tempat lain. Hanya, dia menegaskan, butuh proses panjang dan bertahap mengurai benang merah dunia maksiat di Dolly. "Tidak bisa hanya berdasarkan target untuk mengejar kinerja politik saja. Butuh proses panjang karena faktor pemicunya banyak." Selengkapnya, baca Edisi Khusus Dolly.
DIANANTA P. SUMEDI
Berita terkait:
Mantan Muncikari Naik Haji
PSK di Dolly Mengaku Tidak Suka Pria Perkasa
Semalam, Satu PSK Dolly Layani 10 Tamu
Prostitusi di Dolly, Siapa Yang Diuntungkan?