TEMPO.CO, Malang - Dari sekitar 4000 warga negara asing (WNA) yang berdomisili di Kota Malang, Jawa Timur, hanya sekitar 800 orang yang memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS). Sedangkan yang lainnya bahkan tidak pernah melaporkan keberadaannya di kantor imigrasi setempat. "Tak semua WNA melaporkan diri ke imigrasi," kata Kepala Kantor Imigrasi Malang Ali Yamang Hasan, Selasa, 15 Oktober 2013.
Menurut Ali, selama sembilan bulan terakhir, sebanyak 24 WNA dideportasi karena tidak mengantongi KITAS. Mereka, yang kebanyakan berasal dari China dan Taiwan, hanya memiliki visa kunjungan. Namun, mereka bekerja di sejumlah perusahaan di Lumajang, Malang dan Pasuruan.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Malang Metawati Ika Wardani menjelaskan, pihaknya tidak memiliki data tentang WNA. Itu sebabnya, pihaknya tidak bisa melakukan pendataan berkaitan dengan data kependudukan mereka. ”Data tentang mereka ada di Imigrasi,” ujarnya.
Kendati demikian, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Malang, tetap akan melakukan pendataan. Di antaranya dengen memverifikasi data yang ada di Kantor Imigrasi. Sebab, kenyataannya, banyak WNA yang menetap di Malang karena berbagai kepentingan. Selain bekerja di sejumlah perusahaan, juga menjadi dosen, pengajar di sejumlah sekolah, juga kuliah.
Sesuai Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, setiap WNA harus memiliki KITAS yang dikeluarkan Kantor Imigrasi, yang kemudian dilaporkan kepada Dinas Kependudukan untuk diterbitkan surat keterangan tinggal tetap (SKTT).
Peter Verweij, WNA asal Belanda, hingga saat ini hanya mengantogi KITAS. Peter sudah tiga tahun menetap di Malang setelah menikah dengan wanita Indonesia, Jull Verweij. Peter mengaku tidak tahu harus mengurus SKTT jika telah dua tahun bermukim di Indonesia. "Saya akan segera mengurus SKTT," ucap Peter.
Peter mengaku banyak WNA yang menikah dengan warga negara Indonesia. Mereka berasal dari sejumlah negara, seperti Australia, Italia, Portugis, Swiss, dan Belgia. Mereka kerap berkomunikasi dalam berbagai kegiatan, yang melibatkan tak kurang dari 25 pasangan suami istri beda negara tersebut.
EKO WIDIANTO