TEMPO.CO, Denpasar - Greenpeace Indonesia, Rabu, 16 Oktober 2013, meluncurkan program penyusunan peta pemulihan laut Indonesia. Penyusunan peta tersebut merupakan bentuk rencana aksi dari Visi Bersama Kelautan Indonesia 2025, yang telah dideklarasikan pada Juni lalu saat kapal Raibow Warrior berlabuh di Pelabuhan Benoa, Bali.
Kepala Greenpeace Indonesia Longgena Ginting menegaskan, ancaman yang dihadapi oleh laut Indonesia sudah sangat serius. Hal itu terjadi akibat aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan. Penangkapan pun dilakukan dengan cara yang merusak. “Selain itu, juga akibat adanya konsesi tambang di pulau kecil, pencemaran limbah dan sampah, abrasi, dan lain-lain,” kata Ginting pada acara peluncuran di Danes Veranda, Jalan Hayam Wuruk, Denpasar.
Penyusunan peta pemulihan laut Indonesia akan dilakukan dengan melakukan diskusi kelilling di sejumlah daerah, diskusi melalui mailing list, lalu diakhiri dengan workshop untuk merumuskan aspirasi yang sudah terkumpul.
Ginting berharap pada awal Maret 2014 peta pemulihan laut Indonesia sudah siap menjadi dokumen resmi untuk diajukan kepada pemerintah dan DPR. “Mungkin akan menjadi bahan bargaining bagi kami kepada mereka, termasuk kepada para calon presiden,” ujarnya.
Menurut Ginting, Greenpeace Indonesia juga mengkonsolidasi dukungan masyarakat melalui petisi yang dilansir di www.defenderdurcean.org.
Menanggapi penyusunan peta pemulihan laut Indonesia tersebut, Direktur WALHI Bali Suriadi Darmoko menilaimya sebagai suatu terobosan yang strategis untuk membendung pengelolaan laut dan pantai yang terlau berorientasi kepada proyek.
Selama ini, kata Suriadi, bila pemerintah sudah berkehendak melaksanakan suatu proyek, maka kondisi lokal dengan segala kearifannya cenderung diabaikan. Dengan adanya peta yang dibuat Greenpeace Indonesia, maka pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dapat duduk bersama menyelesaikan konflik yang timbul.
Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Anang Noegroho menyatakan, pemerintah sangat terbuka untuk dilibatkan dalam pembicaraan mengenai masalah ini. Namun, dia juga menekankan perlunya memikirkan undang-undang pemerintahan daerah agar mengakomodasi kepentingan pelestarian dan penjagaan laut. ”Penguasa di daerah adalah para bupati dan walikota. Mereka memiliki otoritas yang kuat di tingkat lokal,” ucap Anang.
Anang menegaskan perlunya merevisi undang-undang pemerintahan daerah agar semua kabupaten dan kota yang wilayahnya mencakup lautan dapat memiliki dinas atau lembaga yang mengurusi laut.
Selama ini, dinas cenderung diabaikan karena tugas pengelolaan laut hanya masuk dalam kategori dipertimbangkan dan tidak termasuk yang wajib ada. Akibatnya, pemerintah pusat tidak memiliki kaki tangan sampai di tingkat lokal.
ROFIQI HASAN