TEMPO.CO, Jakarta - Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika bidang informasi dan media Henri Subiakto mengatakan, pemerintah telah merevisi ancaman pidana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ini dilakukan agar orang yang disangkakan melakukan pelanggaran pasal pencemaran nama baik tidak langsung ditahan.
"Ancaman pidana sudah direvisi dari enam tahun jadi tiga tahun. Cuma revisi ini baru sampai di Kemenkumham, belum sampai dibahas di DPR sebagai produk politik," kata Henri dalam diskusi Ngobrol @tempodotco, Rabu, 23 Oktober 2013, di Coffee Toffee, Jalan Hang Lekir, Jakarta. Diskusi tersebut mengambil tema "Etika Dalam berpendapat, Emang Perlu?"
Menurut Henri, revisi ini dilakukan agar tidak ada orang langsung ditahan saat disangka melakukan pencemaran nama baik. Sesuai ketentuan hukum, seseorang bisa langsung ditahan bila ancamannya di atas lima tahun. Nah, ancaman pelanggaran pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE adalah enam tahun. Karena itu, seseorang yang disangka mencemarkan nama baik langsung ditahan. Penahanan ini terjadi pada Benny Handoko, pemilik akun @benhan, yang didakwa pelakukan pencemaran nama baik terhadap Misbakhun.
Henri mengatakan, revisi ini dilakukan sebagai respons pemerintah melihat banyak gaduhnya penerapan kasus tersebut di lapangan. Revisi sudah dilakukan sejak tiga tahun lalu, namun sayangnya hingga kini DPR belum menjadikannya Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Artinya, revisi UU ITE ini belum dianggap sebagai prioritas oleh DPR untuk segera diselesaikan.
Revisi, Henri melanjutkan, hanya dilakukan pada pasal 45 tentang ancaman sanksi, sementara pasal 27 tentang pencemaran nama baik tidak akan diubah. "yang diubah pasal sanksinya, ancaman hukuman dari 6 tahun jadi 3 tahun. Kalau pasal pencemaran nama baiknya diubah, itu sama saja dengan memperbolehkan orang untuk memalsukan fakta," kata Henri. Apalagi, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE merujuk pada KUHP, sehingga tidak mungkin dihilangkan. "Pasal 27 itu tidak membuat definisi apapun. Pasal itu didasarkan atas KUHP. Jadi kalau menghilangkan pasal 27 ,itu berarti menghilangkan pasal di KUHP," Henri melanjutkan.
Sementara itu, Febi Yonesta, kuasa hukum Benny Handoko, mengatakan dalam kasus kliennya, jaksa hanya menggunakan Pasal 27 ayat (3), tanpa juncto (dikaitkan) ke pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. "Artinya, praktek yang dilakukan jaksa menggunakan pasal 27 secara mandiri," kata Febi.
AMIRULLAH