TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Pengawas Pemilihan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta mendesak satuan polisi pamong praja di daerah ini segera mencopot baliho dan spanduk bergambar calon legislator. Semua caleg mulai 27 September 2013 tidak boleh memasang foto caleg pada baliho dan billboard. Ketentuan itu mengacu pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013 tentang Kampanye. Sayang, sejumlah caleg di DIY mengabaikan aturan itu.
Di DIY, caleg nakal masih memasang baliho di sejumlah akses strategis masuk Kota Yogyakarta. Misalnya caleg dari Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra, Andika Pandu Puragabaya. Foto anak mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Purnawirawan Djoko Santoso ini terpajang pada baliho berukuran sekitar 4 x 7 meter di Gejayan, Jalan Solo, Jalan Wonosari, Jalan Wates, dan Jalan Magelang, DIY. Selain Andika, baliho bergambar Ketua Umum Partai Nasional Demokrat atau NasDem, Surya Paloh, terpajang di Jalan Laksda Adisucipto, Jalan Wates, Jalan Godean, dan Bantul. Gambar Roy Suryo dari Partai Demokrat juga terpampang besar-besar di Kridosono dan jalan lingkar utara Yogyakarta.
Ketua Badan Pengawas Pemilu DIY, Mohammad Najib, mengatakan Bawaslu telah merekomendasikan sejumlah temuan pelanggaran kampanye caleg. Hanya, data pelanggaran di seluruh DIY masih Bawaslu lengkapi. Najib meminta Komisi Pemilihan Umum DIY segera memberikan sanksi kepada caleg maupun partai politik yang melanggar. “Pencopotan paksa baliho adalah sanksi bagi yang melanggar,” kata Najib kepada Tempo, Selasa, 22 Oktober 2013.
Bawaslu, kata dia, sudah berkoordinasi dengan satuan polisi pamong praja di kota dan kabupaten agar mereka segera melepas baliho bergambar caleg. Namun, Satpol PP selama ini mengeluhkan minimnya anggaran untuk melepas baliho berukuran besar. Sebab, untuk mencopot baliho itu perlu petugas dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, Bawaslu mulai Kamis pekan depan mendatangi 12 partai politik di DIY untuk mengingatkan pelanggaran kampanye caleg.
Bawaslu, kata Najib, mendesak bupati dan wali kota di DIY membuat peraturan bupati maupun peraturan wali kota untuk mengatur teknis pemasangan alat peraga kampanye berdasarkan peraturan KPU. Aturan teknis itu misalnya larangan menempatkan alat kampanye di titik tertentu.
Najib juga meminta masyarakat kritis terhadap caleg yang melanggar aturan kampanye. Dalam pemilu, semua peserta harus taat terhadap aturan. “Itu contoh kampanye calon yang negatif karena mereka tak taat aturan main,” kata dia.
Anggota Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Humas KPU DIY, Farid Bambang Siswantoro, mengatakan kampanye melalui baliho hanya diperuntukkan bagi partai politik. Baliho hanya boleh menampilkan lambang dan visi-misi partai politik. Peraturan KPU yang baru ini juga membatasi jumlah pemasangan baliho oleh partai politik.
Pembatasan pemasangan alat peraga di pedesaan, menurut Farid, juga diberlakukan. Pemerintah setiap desa bisa mengaturnya, bergantung pada jumlah tempat pemilihan suara. Misalnya di Kabupaten Kulonprogo cukup satu baliho partai politik karena TPS hanya berjumlah 10.
Menurut dia, KPU telah mendorong caleg segera mencopot baliho besar caleg. Baliho itu, menurut dia, tidak efektif dan membuat buruk citra parpol. “Orang jenuh melihat kampanye caleg lewat baliho. Cara ini kontraproduktif dengan kampanye mereka,” kata dia.
Dia menduga caleg tetap berkukuh memasang baliho dengan alasan mengambil ruang iklan komersial. Farid mendorong gubernur, wali kota, dan bupati tegas mengatur kampanye caleg. Sebab, Peraturan KPU sudah tegas mengatur larangan kampanye caleg. “Ruang publik untuk kepentingan komersial dan kampanye politik harus tegas dibedakan,” kata dia.
SHINTA MAHARANI